Kamis 04 Jun 2020 06:19 WIB

Fadli Zon Cemas dengan Kebijakan New Normal

Ada tiga alasan mengapa kebijakan new normal dinilai buruk.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Gerindra Fadli Zon mengaku, cemas apabila kebijakan New Normal diterapkan lantaran secara epidemiologis Indonesia sebenarnya masih berada dalam zona merah pandemi. Ia memaparkan, ada tiga alasan kebijakan tersebut dianggap buruk.

Pertama, Fadli menganggap otorisasi dan organisasi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah kacau. Menurutnya di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, seharusnya penetapan PSBB menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan. Namun dalam praktiknya malah dipegang oleh Gugus Tugas. 

"Hasilnya sudah bisa kita lihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan 'New Normal' oleh Gugus Tugas, misalnya, tak ada satupun kota di Jawa yang masuk rekomendasi, kecuali Tegal. Tapi anehnya, Gubernur Jawa Barat sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan 'New Normal'. Ini kan jadi kacau otorisasinya!," kata Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (3/6).

Kemudian yang kedua, Fadli menuturkan bahwa data yang disampaikan pemerintah keliru. Menurutnya data yang kerap disampaikan pemerintah untuk menunjukan bahwa angka reproduksi covid-19 sudah terkendali adalah angka yang ada di Jakarta.

"Menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan new normal” di level nasional jelas 'misleading’," ujarnya.

Selain itu menurutnya, tren cenderung membaiknya angka covid-19 di DKI Jakarta, perlu dikritisi. Fadli memandang, tren penurunan itu harus dihubungkan dengan dibukanya keran mudik oleh Pemerintah menjelang lebaran kemarin.

Menurut data Jasa Marga, tercatat ada 465.582 kendaraan keluar dari Jakarta dalam rentang waktu H-7 hingga H-1 sebelum lebaran kemarin. Dari jumlah tersebut, menurut Polda Metro Jaya, hanya sekitar 25 ribu kendaraan saja yang bisa dihalau untuk putar balik. "Artinya, secara de facto terjadi arus mudik pada lebaran kemarin. Sehingga, tren penurunan kasus baru dan tingkat penularan Covid-19 di DKI belum menggambarkan kondisi normal yang sesungguhnya," ucapnya.

Ketiga, anggota Komisi I DPR itu menilai basis data pemerintah tak proporsional. Berdasarkan data yang ia kutip dari Worldometer, Indonesia memiliki tingkat pengujian yang terburuk di antara negara-negara yang paling terpengaruh oleh Covid-19.

Ia menuturkan, sejauh ini pemerintah Indonesia hanya bisa melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta penduduk. "Bandingkan dengan Amerika Serikat yang melakukan 46.951 tes untuk tiap 1 juta penduduk, Singapura yang mencapai 57.249 per 1 juta penduduk, atau Malaysia yang berada di angka 16.083 per 1 juta penduduk," ujarnya.

Wakil ketua umum Partai Gerindra itu menyimulasikan, jika penduduk Indonesia 273 juta, per pekan seharusnya ada tes bagi 273 ribu penduduk. Dalam 12 pekan sejak kasus pertama ditemukan pada awal Maret lalu, kita mestinya sudah melakukan 3.276.000 tes.

"Kalau meniru pola Korea Selatan, yang melakukan tes terhadap 0,6 persen penduduk, maka dengan jumlah penduduk 273 juta, kita seharusnya sudah melakukan tes terhadap 1.638.000 orang," tandasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement