REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Arsitektur, FTSP, Universitas Islam Indonesia, Dr Ing Ilya Fadjar Maharika mengatakan, kebijakan penanganan pandemi membutuhkan ruang lebih luas. Seperti physical atau social distancing dan contact tracing.
Ia menawarkan solusi, pada masa krisis seperti sekarang ini seharusnya bisa memanfaatkan ruang-ruang publik seperti taman dan fasilitas atau lapangan olah raga. Terutama, sebagai tempat penanganan darurat terkait Covid-19.
"Terlebih, belum diketahui kapan wabah corona akan menghilang, dan apakah kelak akan muncul virus baru yang sama bahayanya," kata Ilya dalam webinar yang digelar Prodi Arsitektur UII, Rabu (3/6).
Ilya merasa, seorang arsitek membutuhkan pula pihak-pihak lain mempersiapkan kemungkinan terjadinya wabah baru. Kapasitas tenaga kesehatan, institusi dan masyarakat juga sangat krusial, jadi arsitek dinilai harus aktif.
"Pada masa krisis harus aktif dalam mendukung pemerintah memberikan masukan, termasuk kepada PSBB. Bersama mempersiapkan perencanaan kota yang dibutuhkan dalam memastikan penanganan pandemi agar berjalan efisien dan efektif," ujar Ilya.
Senada, Prof. Nicole Uhrig dari Anhait University of Applied Science memberi solusi lainnya yang memungkinkan terkait arsitektur tata kota. Salah satunya dengan mendirikan kota pintar yang banyak memanfaatkan teknologi.
Terlebih, krisis corona memicu dorongan meningkatkan ekspansi infrastruktur, platform daring baru dan aplikasi untuk mencegah dan memutus rantai infeksi. Serta, model kerja digital yang lebih fokus dan lebih baik dari sebelumnya.
"Menurunkan rintangan birokrasi dan pembatasan jarak fisik yang tersebar di ruang publik memakan lebih banyak area. Untuk mempersiapkannya, diperlukan kerja sama yang baik, waktu, tenaga dan dana yang cukup besar," kata Nicole.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah dapat menghadirkan ruang terbuka kepada masyarakat tanpa rasa takut. Kemudian, penting mengubah perilaku orang untuk bertindak secara bertanggung jawab dan meningkatkan ketahanan.