REPUBLIKA.CO.ID, PANGKAL PINANG -- Kalangan akademisi yang tergabung dalam IMPROVE Indonesia, Selasa (2/6), menyelenggarakan seminar online bertema “Bincang Politik Akhir Pandemi, Menuju Era New Normal.” Dari hasil seminar online itu, IMPROVE Indonesia mengeluarkan sejumlah rekomendasi politik yang bisa dilakukan untuk menghadapi new normal.
Rendy Hamzah, salah seorang narasumber yang berasal berprofesi sebagai akademisi Ilmu Politik FISIP Universitas Bangka Belitung mengatakan, di masa new normal perlu adanya sinergitas semua lini. Pemerintah dalam hal ini perlu mengaktivasi sistem dan desain kebijakan yang serius dan teliti terhadap pertimbangan-pertimbangan akademik, serta antara elemen warga dan pengelola negara harus terbangun ‘trust’.
"Sehingga bisa saling berkolaborasi untuk menghadirkan keadaan ekologi sosial politik dan lingkungan yang jauh lebih aman, sehat dan demokratis. Perlu konsolidasi ilmuwan, agamawan dan negarawan dalam menuju tatanan baru solusi menuju (new normal),” ujarnya.
Di lain sisi, Muhammad Anshori, pendiri Ponpes Darur Rahmah Lubuk, Bangka Tengah yang juga merupakan Komisioner FKPT Bangka Belitung menyoroti pentingnya kearifan lokal dan pelibatan masyarakat adat dalam hal penanggulangan pandemi covid-19 menuju new normal. Menurutnya, gaya kepemimpinan elite berkorelasi pada respon masyarakat.
Dalam konteks penanganan Covid-19, komunikasi yang dibangun oleh elite saat ini menciptakan empat pola dalam masyarakat. Pertama, masyarakat tahu dan patuh kepada pemerintah. Ini barangkali yang dilakukan oleh state aparatus, profesional, dan orang yang relatif berpenghasilan tinggi.
Kedua, masyarakat tidak tahu dengan wabah Covid-19 namun patuh terhadap anjuran pemerintah. "Barangkali masyarakat yang open minded namun percaya kepada anjuran pemerintah," kata Anshori.
Ketiga, masyarakat yang mengetahui wabah Covid-19 namun tidak patuh terhadap anjuran pemerintah. Ini barangkali lebih tepat disebut sebagai pembangkangan sipil. Keempat, masyarakat yang tidak tahu dengan wabah dan juga tidak patuh terhadap anjuran pemerintah.
"Ini barangkali masyarakat yang terpencil yang relatif jauh dari sentuhan dunia komunikasi dan informasi. Keempat pola konfigurasi masyarakat ini perlu dipetakan secara serius oleh pemerintah dan kemudian dicarikan kebijakan,” ujarnya.
Menurut Anshori, yang menarik adalah klasifikasi yang ketiga. Dalam konteks ini pembangkangan warga tidak terjadi begitu saja. Tetapi, ada sebab yang menyertainya. Dalam hal ini misalnya perubahan kebijakan pemerintah yang relatif cepat dan tarik ulur sehingga membingungkan masyarakat.
Apalagi ada kebijakan yang kontraproduktif di saat ada kebijakan PSBB namun pada saat yang sama ada pergerakan aktivitas perekonomian yang longgar misal hadirnya tenaga kerja asing, pelonggaran transportasi publik dan seterusnya. Akhirnya mereka bersikap negatif atau masa bodoh dan berperilaku terserah negara.
Sementara, Moh. Rafli Abbas, selaku Project Manager Institute ASEAN Studies UKI Jakarta mengamati soal perubahan struktur sosial ekonomi di era new normal. Menurut Rafli, tanpa disadari di era new normal sebenarnya terjadi perubahan struktur sosial ekonomi secara radikal dan global dari masyarakat tradisional menuju masyarakat informasi.
"Ini ditandai dengan terbentuknya pola komunikasi berbagai jaringan digital, komunikasi internet dan dunia virtual di sejumlah lapisan masyarakat," kata Rafli.
Selain itu juga terjadi perubahan pada struktur birokrasi yang memperlihatkan adanya perubahan yang signifikan sehingga orang menjadi fleksibel dan tiada lagi batasan ruang dan waktu. Orang bisa membuat pekerjaan untuk dirinya sendiri (self programmer) tanpa struktur hierarki birokrasi yang kaku. “Dibutuhkan respon kepemimpinan yang inovatif sebagai aktor kunci dalam mengakhiri pandemi covid-19 menuju new normal,” ujar Rafli.
Sedangkan Wakil Sekretaris Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Bangka Belitung, Agung Nugraha, mengigatkan soal soilidaritas masyarakat. Menurutnya, solidaritas adalah modal penting untuk menyukseskan kebijakan new normal agar mampu menghidupkan kembali mata rantai kehidupan masyarakat secara normal dengan memperhatikan protokol kesehatan.
"Oleh sebab itu, integritas kepemimpinan sangat dibutuhkan agar kebijakan new normal dapat menghidupkan kembali roda sosial ekonomi masyarakat," kata Agung.
Dari seminar ini, IMPROVE Indonesia merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi new normal. Pertama, penting untuk menjaga konsistensi kebijakan dan pola komunikasi elite yang sebangun dengan pilihan kebijakan yang diambil.
Kedua, new normal bukan saja soal menggunakan hand sanitizer, masker, physical distancing, penyediaan fasilitas kesehatan namun harus menyentuh pada persoalan yang paling mendasar. Yaitu, sejauhmana kebijakan adaptif dengan ekosistem lingkungan yang ada. Ketiga, filosofis pembangunan harus bergeser dari antroposentris yang meletakkan manusia diatas segala-galanya menuju filosofis pembangunan yang bersahabat dengan keberlanjutan ekosistem dan alam, ekosentris.
Sementara, founder IMPROVE Indonesia, Novendra Hidayat, selaku founder IMPROVE Indonesia, berharap ke depannya tradisi ilmiah (seminar dan diskusi) seperti ini bisa berkelanjutan. Kemudian, episentrumnya tumbuh di seluruh Indonesia dengan topik dan narasumber yang berbeda sesuai dengan isu yang relevan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Novendra yang merupakan dosen Ilmu Politik di FISIP Universitas Bangka Belitung ini mengatakan, keberadaan IMPROVE Indonesia bertujuan untuk mendorong dan mengoptimalisasi pembangunan politik, hukum dan demokrasi yang sehat dan beradab. Karena, IMPROVE Indonesia digagas oleh para intelektual muda progresif lintas profesi dan organisasi dari berbagai penjuru nusantara.