REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Integrasi data dalam program Bersatu Lawan Covid-19 (BLC) digunakan pemerintah untuk menganalisis kesiapan setiap daerah dalam memasuki kenormalan baru atau new normal. Sistem BLC telah mencatat sebanyak 39.000 data penyelidikan epidemiologi hingga Sabtu (30/5).
Pakar Informatika Penyakit Menular dan Epidemiologi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan, data penyelidikan tersebut berasal dari Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), pasien positif, kontak erat pelaku perjalanan yang di dapatkan dari Puskesmas, Rumah Sakit (RS) dan Dinas Kesehatan. Selain itu, data dari sistem tersebut juga diintegrasikan dengan RS Online di bawah koordinasi Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kemudian untuk konfirmasi kasus, sistem BLC telah terintegrasi dengan sistem Orlitbangkes dan datanya juga sudah dibersihkan dan di-cleaning oleh sistem surveilans dari Dirjen P2P Kementerian Kesehatan. Sistem BLC juga mencatat seluruh data logistik, mulai dari data gudang, logistik RS dan laboratorium, dan ketersediaan barang serta distribusinya.
"Data logistik, kami lihat bahwa datanya sudah masuk dari data gudang untuk melihat ketersediaan dan distribusi dari logistik rumah sakit dan laboratorium, mencakup alat kesehatan, APD, dan juga obat-obatan," kata Dewi dalam siaran pers, Ahad (31/5).
Selain itu, sistem BLC juga menghimpun integrasi data dari Aplikasi Peduli Lindungi. Ini untuk melihat dan mencatat mobilitas penduduk yang didukung dengan model SDLC, yang akan diperuntukkan untuk mencatat pelaku perjalanan yang akan melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah yang lain.
Pada dasarnya, sistem Bersatu Lawan Covid merupakan buah kolaborasi dan koordinasi yang sangat baik antar komponen Gugus Tugas yang merupakan lintas kementerian, lintas lembaga, lintas sektor sehingga dapat memudahkan untuk menganalisa hingga pembambilan kebijakan ke depannya. "Ini adalah contoh yang sangat baik di mana koordinasi dan kolaborasi melahirkan sebuah sistem terintegrasi yang memudahkan kita untuk menjadi navigasi pengambilan keputusan kedepannya," jelas Dewi.
Target penurunan kasus 50 persen
Implementasi sistem BLC untuk analisa sebagai landasan pemulihan Aktivitas Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 juga mengacu pada 11 indikator dari pilar epidemiologi, surveilans kesehatan masyarakat, dan juga pelayanan kesehatan. Dari keseluruhan data, sistem BLC tersebut kemudian dihimpun, diberikan bobot, dilakukan scoring.
Kemudian dijadikan landasan apakah sebuah daerah, sebuah wilayah memiliki resiko kenaikan kasus COVID rendah, sedang, atau tinggi. "(Dari sistem BLC) kita dapat lihat data-data yang masuk, terutama dari Kementerian Kesehatan, kami olah datanya, kita bersihkan, kita analisis sehingga dapat kita lihat kapan puncak kasus positif terjadi," jelas Dewi.
Dalam hal ini, pemerintah telah menargetkan penurunan kasus hingga 50 persen. Hal itu harus terus dipantau setiap minggunya, termasuk kasus ODP dan PDP di tengah masyarakat.
"Target penurunan adalah 50 persen. Di sini kita bisa lihat setiap minggunya berapa persen penurunannya dan tercatat kurang lebih 40 persen. Begitu juga dengan kasus ODP dan PDP, kita lihat berapa banyak jumlah penurunan kasusnya yang ada di masyarakat," ujar Dewi.
Selain dari jumlah kasus positif, Gugus Tugas juga memonitor data yang meninggal dunia, baik dari pasien positif, ODP maupun PDP setiap minggunya melalui sistem BLC. Selanjutnya, hal yang harus dipantau adalah kenaikan kesembuhan di suatu wilayah.
Kesembuhan ini berlaku untuk pasien positif dan yang kedua adalah untuk ODP yang selesai pemantauan atau PDP yang selesai pengawasan. "Kita mengharapkan grafiknya terus menanjak ke depan. Selanjutnya adalah orang yang dirawat di rumah sakit, ini juga kita lihat berapa banyak orang yang dirawat: semakin turun jumlah orang yang dirawat, baik pasien positif maupun ODP dan PDP menunjukkan sebuah daerah memiliki kesiapan yang baik," kata Dewi.
Kemudian, Dewi juga menjelaskan bahwa hal yang harus dilihat adalah jumlah spesimen yang diperiksa oleh laboratorium. Dalam hal ini targetnya adalah sebanyak lima persen.
"Targetnya adalah yang positif hanya 5 persen, jika yang positif mencapai 5 persen maka menunjukkan bahwa sudah baik, penularan yang ada di masyarakat dapat terkontrol dengan baik," ujar Dewi.
102 wilayah aman
Dari indikator tersebut, sudah ada 102 Kabupaten/Kota di Indonesia yang menunjukkan dalam kondisi aman untuk pemulihan Aktivitas Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19. Adapun, 102 wilayah tersebut meliputi Provinsi Aceh ada 14 kabupaten/kota, Sumatera Utara ada 15 kabupaten/kota, Kepulauan Riau ada 3 kabupaten, Riau 2 Kabupaten, Jambi 1 kabupaten, Bengkulu 1 kabupaten, Sumatera Selatan 4 kabupaten/kota, Bangka Belitung 1 kabupaten dan Lampung 2 kabupaten.
Kemudian Jawa Tengah ada 1 kota, Kalimantan Timur, 1 kabupaten, Kalimantan Tengah, 1 kabupaten, Sulawesi Utara, 2 kabupaten, Gorontalo, 1 kabupaten, Sulawesi Tengah, 3 kabupaten, Sulawesi Barat, 1 kabupaten, Sulawesi Selatan, 1 kabupaten, Sulawesi Tenggara, 5 kabupaten/kota.
Selanjutnya Nusa Tenggara Timur ada 14 kabupaten/kota, Maluku Utara, 2 kabupaten, Maluku, 5 kabupaten/kota, Papua, 17 kabupaten/kota dan Papua Barat 5 kabupaten/kota.
Kendati sudah dinyatakan aman, Dewi juga mengingatkan bahwa Covid-19 adalah penyakit yang sifatnya dinamis. Karena itu, dia meminta agar masyarakat dapat tetap mengutamakan penerapan protokol kesehatan di setiap lini sektor yang ada.
"Pada hari ini seseorang dapat berstatus ODP, kemudian hari menjadi positif, dan kemudian beberapa hari kemudian menjadi sembuh misalnya. Sifatnya sangat dinamis, dapat menyebar dengan sangat cepat, oleh sebab itu pesan dari saya adalah tetap mengutamakan penerapan protokol kesehatan di setiap lini sektor yang ada," jelas Dewi.