REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DW-PIM) Lampung Chusnunia Chalim mengatakan situasi di daerah saat ini terpaksa menerapkan tatanan normal baru (new normal), walaupun, daerah belum memenuhi syarat. Sebab, menurutnya, mau tidak mau pola hidup di masyarakat harus lebih berkualitas ke depan.
"Jujur, situasi di daerah terpaksa new normal walaupun belum memenuhi syarat," kata dia saat diskusi daring dengan tema "The New Normal Indonesia: Apa Maksudnya, Sudahkah Waktunya, Apa Agenda Semestinya?" di Jakarta, Sabtu (30/5).
Sebenarnya ada indikator-indikator untuk menerapkan normal baru di antaranya bagaimana penularan virus, sistem kesehatan di daerah serta pengujiannya. Hal itu belum terpenuhi seutuhnya.
Ia mengatakan di Lampung tidak ada satupun daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga sebenarnya daerah tersebut sudah mendahului pelaksanaan normal baru sejak awal.
"Jadi kami terapkan kriteria-kriteria PSBB tanpa status PSBB dimana masyarakat kita ajak untuk berkehidupan dengan cara baru yakni adaptasi dengan Covid-19 saat itu juga," kata Wakil Gubernur Lampung tersebut.
Chusnunia mengatakan, hal tersebut dilaksanakan lebih pada keterpaksaan karena memang daerah tidak mampu dari segi konsekuensi anggaran jika PSBB diterapkan. Bahkan sampai saat ini, ujar dia, Lampung masih alami keterbatasan untuk melaksanakan tes cepat Covid-19 dan hanya fokus pada skala-skala prioritas atau belum bisa tes warga secara massal.
Lebih umum lagi, walaupun ada satu daerah di Lampung yang zona merah. Namun, dalam skala lebih besar daerah itu masih relatif zona hijau dibandingkan provinsi-provinsi tetangga sehingga mau tidak mau normal baru mesti mendorong pola hidup lebih berkualitas.
Intinya bagaimana pemerintah di situasi sulit ini dapat melakukan evaluasi untuk bisa bekerja lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain, Covid-19 seharusnya dapat membuat setiap pihak terpacu untuk lebih positif.
Sebab, situasi saat ini menunjukkan pendapatan asli daerah kota hampir jatuh. Bahkan dana-dana dari pemerintah pusat dipangkas 50 persen untuk belanja pembangunan dan sisanya hampir nol atau tersisa untuk kegiatan-kegiatan rutin yang dananya tidak bergerak.
Ia memperkirakan pembangunan di daerah saat ini hingga 2022 akan jatuh atau hilang 60 hingga 70 persen. Apalagi sebelumnya sejak 2016 pemerintah pusat banyak melakukan penganggaran yang pembangunannya disentralkan di pusat.
"Jadi anggaran yang selama ini ke daerah memang sejak 2016 banyak hilang, lalu ditambah lagi situasi hari ini makin drop lagi pembangunan di daerah. Ini pasti berimbas pada kualitas di masyarakat," ujar dia.*