Sabtu 30 May 2020 13:42 WIB

Jelang New Normal, Tiga Hal Ini Harus Dilakukan

Penerapan new normal di masyarakat bukan berarti pandemi Covid-19 berakhir.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ratna Puspita
New Normal. Penerapan normalitas baru atau new normal di masyarakat pada semua bidang bukan berarti pandemi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) berakhir, melainkan dibutuhkan kesiapsiagaan dalam menghadapinya.
Foto: Infografis Republika.co.id
New Normal. Penerapan normalitas baru atau new normal di masyarakat pada semua bidang bukan berarti pandemi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) berakhir, melainkan dibutuhkan kesiapsiagaan dalam menghadapinya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif menjelaskan ada tiga hal yang harus dilakukan masyarakat selama kebijakan tatanan kehidupan normal baru (new normal) akan dijalankan mulai Juni 2020. Tiga hal itu, yakni memakai masker wajah, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.

Menurut Syahrizal, penerapan normalitas baru atau new normal di masyarakat pada semua bidang bukan berarti pandemi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) berakhir, melainkan dibutuhkan kesiapsiagaan dalam menghadapinya. "Misalnya dalam hal belajar, ibadah, dan bekerja. Karena itu penggunaan masker untuk pencegahan infeksi, jaga jarak, dan menghindari kerumunan yang tidak bisa ditawar lagi," ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Sabtu (30/5).

Baca Juga

Problem terbesar sebenarnya, dia melanjutkan, adalah menyambut aktivitas persekolahan. Khususnya, protokoler yang tepat dan perlunya dukungan pskisosial anak yang selama ini mengalami stres di rumah dan adanya ketakutan masuk sekolah, dan bebas stigma. Karena itu, ia meminta seharusnya pemerintah jangan hanya melihat aktivitas seperti di mal, MRT, tetapi juga melihat kondisi pesantren, sekolah, dan pasar tradisional. 

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

Pada kesempatan itu, ia juga menanggapi informasi Covid-19 bahwa new normal kaitannya dengan herd immunity yang berkembang di masyarakat. Ia menyebut dua hal ini tidak relevan untuk dihubungkan. 

"Herd immunity hanya bisa dibangun dengan cara vaksinasi yang saat ini belum ada, kemudian herd immunity cocok untuk penyakit seperti campak atau rubella yang ketika terkena akan memberikan kekebalan permanen. Sedangkan Covid-19 tidak memberikan dapat kekebalan permanen," katanya.

Saat ini, dia melanjutkan, Indonesia satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang mengalami fluktuasi. Bahkan, dapat dikatakan respons Indonesia termasuk lambat, strategi komunikasi kurang baik, regulasi yang simpang siur. 

Sedangkan dari aspek peraturan sendiri yang digunakan yaitu Undang-Undang Karantina, bencana alam, darurat sipil, darurat kesmas dan bencana nasional non-alam tanpa menyinggung sedikitpun tentang Undang-undang Wabah.  "Indonesia belum mencapai puncak pandemi, Jakarta menjadi provinsi yang paling berisiko dengan pergerakan manusia yang besar," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement