Sabtu 30 May 2020 08:46 WIB

Peneliti: Pelibatan Tentara Bagai Bisnis Rasa Takut

Dengan peibatan aparat ada kecenderungan pemerintah semakin berjarak dengan warganya.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi
Foto: Dok Pribadi
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelibatan tentara dalam penerapan normal yang baru disebut menunjukkan kurangnya keinginan pemerintah membangun kepatuhan melalui komunikasi berbasis komunitas. Langkah tersebut dianggap sebagai bisnis rasa takut.

"Pengerahan pasukan itu sebenarnya menurut saya sejak awal ya cuma untuk menakut-nakuti saja supaya masyarakat takut dan akhirnya mau disiplin. Saya menyebutnya bisnis rasa takut dengan tentara sebagai agen atau perangkat 'momok'," ungkap Peneliti Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, melalui pesan singkat, Jumat (29/5).

Namun, kebijakan tersebut kemudian lebih terlihat sebagai bentuk intimidasi. Menurut Khairul, langkah tersebut menunjukkan kurangnya itikad pemerintah dalam membangun kepatuhan melalui komunikasi berbasis komunitas yang lebih persuasif. Bahkan, kata dia, ada kecenderungan pemerintah semakin berjarak dengan warganya.

"Apakah efektif? Ketakutan ada batasnya. Sulit untuk berkelanjutan, kecuali kehadiran itu benar-benar represif, tidak sekadar koersif," katanya.

Menurut Khairul, tidak ada tak ada dasar hukum yang masuk akal bagi tentara untuk melakukan tindakan represif sebagai upaya membangun kepatuhan itu. Hal yang harus diingat, masyarakat Indonesia saat ini belum terbebas dari trauma masa lalu dengan rezim orde baru yang kekuasaannya dibangun di atas ketakutan.

Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyampaikan aparat gabungan TNI dan Polri akan dikerahkan ke berbagai lokasi keramaian di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota untuk melaksanakan aktivitas new normal di tengah pandemi covid.

Pengerahan aparat TNI dan Polri ini akan dilakukan di 1.800 objek keramaian seperti di tempat lalu lintas masyarakat, mal, pasar tradisional, tempat pariwisata, dan lain-lain. Sehingga masyarakat dapat melaksanakan aktivitasnya namun tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan.

“Anggota Polri yang akan dilibatkan kurang lebih 340 ribu karena kita harus mengamankan di 1.800 titik tersebut,” ujar Hadi saat konferensi pers usai mendampingi Presiden meninjau kesiapan penerapan prosedur standar new normal di stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Selasa (26/5).

Pelaksanaan pendisiplinan oleh aparat gabungan ini akan dilakukan secara bertahap di sejumlah lokasi. Seperti pengawasan di stasiun kereta, di tempat niaga, apotek, dan lainnya. Pada tahap pertama, langkah ini akan dilakukan di empat wilayah seperti di DKI Jakarta, Bekasi, Sumatra Barat, dan juga Gorontalo.

“Tahap pertama kita laksanakan secara serentak di empat tempat di DKI Jakarta khususnya di Bundaran HI, Bekasi Provinsi Jabar, Sumatra Barat, dan Gorontalo,” ujar dia.

Ia menjelaskan, aparat gabungan tersebut akan mengawasi masyarakat agar terus mengenakan masker, menjaga jarak aman, dan juga menyiapkan tempat cuci tangan maupun menyediakan hand sanitizer. Dalam tahap pertama ini, pemerintah juga akan mengatur perizinan layanan operasi tempat perbelanjaan seperti mall dan juga tempat makan.

“Tahap pertama akan kita atur contohnya adalah mal yang kapasitasnya 1.000 orang mungkin akan kita izinkan untuk 500 saja dan akan kita awasi, termasuk juga rumah makan harusnya mungkin 500, kita batasi mungkin hanya 200 saja,” ucapnya.

Dengan pengawasan ini, diharapkan masyarakat dapat beraktivitas kembali secara normal namun tetap aman dari Covid-19. “Mudah-mudahan empat provinsi 25 kabupaten/kota nantinya R0-nya bisa turun sampai 0,7 sampai dengan bawah lagi yang lebih bagus,” kata Hadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement