Selasa 26 May 2020 10:25 WIB
kelaparan

Bung Karno dan Kenangan Kelangkaan Pangan 1960-an.

kenangan ancaman kelaparan zaman Bung Karno

Keterangan foto: Unjuk rasa mengeluhkan ketersediaan beras pada 1960-an.
Foto: wikipedia
Keterangan foto: Unjuk rasa mengeluhkan ketersediaan beras pada 1960-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Setelah saya semalam tulis cerita soal kisah keluhan adiknya yang berada di pedalaman Kalimantan soal permintaannya meminta bantuan uang agar bisa membeli beras, sahabat saya yang juga jurnalis senior, Teguh Setiawan mengisahkan kisah kelangkaan beras di ibu kota pada dekade 1960-an. Dia mengalami situasi ini di masa kecilnya kala Jakarta beserta pinggiran kotanya masih sederhana dan agraris.

'' Kalau itu gue masih ngerasain makam bulgur, alias gandum. Kalo kebanyakan, gandum diberi untuk makanan ayam. Ayam makan nggak kira kira dan mati. Sebab gandum akan mekar jika terkena cairan. Gandum di tembolok ayam mekar, dan bikin tembolok pecah,' katanya terkekeh mengenangkan.

Dia mengaku saat itu di antre beras di warung Haji Saman. Namanya beras droping. Pembelian dibatasi. Hanya lima liter."Saat itu saya sudah tinggal di Cengkareng setelah sebelumnya tinggal di Kwitang. Yang antre beras kebanyakan pendatang, karena penduduk asli punya cadangan beras dari panen berlimpah."

Jadi di cengkarang kala itu masih banyak sawah. Panen masih satu kali. Jenis panen padinya padi gogo yang tanamanya setinggi orang dewasa. Setiap hari selalu ada pemandangan menari, yakni ibu-ibu mengenakan kutang dengan payudara gobal-gabel menumbuk beras.

"Jadi, yang terancam kelaparan saat itu penduduk kota. Di pinggir Jakarta, seperti di Cengkareng, yang kelaparan juga orang pindahan dari kota,'' ujarnya.

Maklum saja, Cengkareng saat itu adalah tempat pembuangan akhir orang tergusur dari.kampung kampung yang saat ini menjadi Jl Thamrin dan Sudirman. Jadi di sana banyak orang korban gusuran akibat pembangunan kota Jakarta."Keluarga saya bukan gusuran. Karena bapak dapat kerjaan di Cengkareng, ya keluarga pindah. Cengkareng kosong melompong, dengan penduduk terkonsentrasi di seutas kali peninggalannya politik etis Van Deventer."

Khusus untuk kali buatan peninggalan Van Deventer itu bernilai khusus. Ini karena kali ini saat itu membelah Cengkareng menjadi duakomunisas yang berbeda latar belakang. Penduduk setempat menyebutnya sebagai kali pengaairan karena memang kali buatan. "Nggak ada nama resmi. Kami menyebutnya Kali Rawa Bengkel. Kali dibangun bersamaan dengan pembangunan Pintu Air Sepuluh Tangerang 1917-1927. Kini kali menghitam, berubah fungsi menjadi got, akibat perubahan fungsi lahan."

Akibat kali ini pembeahannya seperti ini. Di sebelah selatan kali adalah dihuni para pendatang. Pada Sebelah utara penduduk asli. Yang krisis pangan di utara. Di selatan makan beras pera dari karung bertuliskan Saigon. Di utara, penduduk makan beras pulen yang 'uenak' tenan.

"Kami menyebutnya beras bantuan itu sebagai beras Saigon. Di kampung itu nggak ada yang tahu apa itu Saigon. Beda dengan bapak saya tahu Saigon itu nama ibu kota Vietnam Selatan. Kini bernama Ho Chi Minh City. Nah, karena itu penduduk seberang kali, alias utara, mencibir kami yang makan beras Saigon. Yah, nasib,'' ujarnya sembari terkekeh lagi.

                                  ******

Kisah dari Teguh Setiawan juga terkonfirmasi dengan wartawan senior kami 'Abah al-Habib' Alwi Shahab. Kala itu dia tinggal di sekitar di Kwitang. Menurut 'abah' tinggal di sana kala itu sangat menyenangkan sebab air sungai Ciliwung masih jernih dan banyak dipakai anak-anak mandi. Di bawah jembatan Ciliwung kala itu juga banyak sampan dari bambu. Yang paling mengesankan lagi di kampung Kwitang itulah kisah legenda Nyai Dasimah terjadi.

'Abah' Alwi Shahab

 bercerita soal kelangkan beras di Jakarta secara jenaka. Dia juga menceritkan sikap 'lucu' Presiden Soekarno ketika membantah keras soal berita  terjadinya kesulitan pangan di ibu kota dan tempat lainnya kala itu. Tulisannya begini:

Ketika menjadi wartawan Kantor Berita Antara (1963-1993) ada seorang juru foto bernama Nurdin AS. Saya tidak tahu apa kepanjangan AS itu. Badannya tidak lebih dari 155 sentimeter dan beratnya ‘hanya’ sekitar 45 kg.

Meski sebagai juru foto dia harus terjun ke lapangan.

Nurdin selalu berpakaian cukup necis atau trendi menurut istilah sekarang. Tangan kirinya memakai gelang emas, seperti peneng yang harus dikenakan para jamaah haji Indonesia selama di Tanah Suci agar gampang dikenali bila tersasar. Pokoknya, penampilan Nurdin jauh lebih unggul dibanding rekan-rekan wartawan lainnya.



Nurdin juga memiliki sebuah mobil Fiat buatan Italia, padahal ketika itu umumnya wartawan kalau meliput naik bus atau becak. Suatu ketika juru warta yang sampai akhir hayatnya tetap membujang ini, membuat sebuah kejutan.

Saat itu Nurdin mengabadikan sebuah foto rakyat tengah berebutan menyapu beras yang berceceran di jalan dekat Pelabuhan Tanjung Priok. Rupanya beras di dalam karung saat diangkut ke truk sering kali dijegal di tengah jalan. Karungnya mereka bolongin hingga berasnya berceceran.



Rupanya peristiwa itu sudah terjadi sejak lama hingga Nurdin mendatangi tempat tersebut. Meskipun ketika itu kebebasan pers dikekang, tapi foto tersebut dimuat juga oleh sejumlah harian Jakarta.

Maka, ketika wartawati Antara, Ita Syamsudin, tengah meliput acara di Istana, dia dipanggil Bung Karno. 

Presiden Sukarno memang akrab dengan para wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan. Lebih-lebih dengan Ita Syamsuddin. Bahkan dialah yang mengganti nama depan Itje yang berbau Belanda dengan Ita.



”Ita, kau lihat foto dan berita ini?” Bung Karno bertanya dengan nada marah. ”Ya, saya lihat. Apa salahnya? Itu adalah foto yang telah berbicara sendiri,” katanya tanpa merasa bersalah, seperti ditulisnya dalam buku Catatan Politik Pengalaman Wartawan Antara. Kemudian Bung Karno berkata, ”Antara sebagai alat revolusi tidak boleh menyiarkan foto yang demikian.”



Kemarahan Bung Karno itu diwujudkan keesokan harinya dengan memanggil para pimpinan Antara, yang kala itu terdiri dari unsur-unsur Nasakom. Tapi, dalam situasi politik yang panas kala itu, para pimpinan Antara tidak pernah berhenti dari konflik diantara mereka.



Setelah memanggil para pimpinan Antara, Bung Karno mengatakan pada Ita, ”Pimpinan Antara sudah saya marahi. Mereka mengaku sudah kebobolan. Tapi, tahukah kamu Ita, bahwa foto itu mungkin saja dilepas pihak komunis dan mungkin pihak kolonialis, yang keduanya tidak menghendaki kemakmuran Indonesia.”



Indonesia, menurut Bung Karno, sebenarnya tidak kekurangan pangan. ”Rakyat Indonesia tidak hanya makan beras. Hal ini selalu kukatakan pada wartawan-wartawan asing yang menanyakan apakah rakyat Indonesia kekurangan pangan.”

Maka itulah kisah dari Teguh Setiawan dan Abah Ali Shahab soal kelangkaan pangan di tahun 1960-an. Meski ada kisah pilu ini marilah semua tetap optimis dan bergembira, persis agunya Bung Karno 'Mari Bersuka Ria' yang dinyanyikan dengan musik irama 'Lenso' oleh penyanyi top ibu kota saat itu: Bing Slamet, Nien Lesmana, dan Rita Zahara: Ayo Bergembira.

Siapa bilang bapak dari Blitar

Bapak kita dari Prambanan

Siapa bilang rakyat kita lapar

Indonesa banyak makanan

Mari bergembira.. bergembira bersama...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement