Kamis 21 May 2020 16:41 WIB

BPIP: Indonesia tak Boleh Ikut Blok AS Maupun China

Prof Hariyono mengajak masyarakat Indonesia dapat berdamai dengan sejarah.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Wakil Kepala BPIP Prof Hariyono (tengah).
Foto: Dok
Wakil Kepala BPIP Prof Hariyono (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia diajak untuk menyamakan persepsi agar dapat berdamai dengan sejarah perjalanan bangsa ini. Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Hariyono menuturkan, masyarakat Indonesia selama ini belum bisa melihat problem kebangsaan secara jernih tanpa berdamai dengan sejarah terlebih dulu. Akibatnya, kata dia, masyarakat saat ini tidak bisa melampaui kejayaan masa lalu.

Dia mencontohkan, seringkali masyarakat melakukan anakromisme, yaitu mengukur masa lalu dengan masa sekarang. Menurut Hariyono, seolah-olah pada abad 14-19 wilayah Nusantara adalah satu kekuasaan atau bangsa. Padahal faktanya tidak demikian. Hal itu dibuktikan dengan banyak sekali kerajaan yang tersebar di seluruh Nusantara. Hariyono menjelaskan, fakta tersebut patut dikemukakan agar masyarakat bisa berdamai dengan sejarah dalam melihat Nusantara pada masa lalu.

"Fakta sejarah memperlihatkan bahwa ketika bangsa-bangsa Barat hadir, Nusantara tidak berada dalam satu kekuasaan. Wawasan penduduknya tentang kebangsaan juga beragam karena masih berupa kerajaan-kerajaan tradisional yang wilayahnya tergantung pada kekuatan militer," kata Hariyono saat menjadi pemateri webinar bertema 'Kebangkitan Nasional dan Pancasila' pada Rabu (20/5).

Hariyono menekankan, perlunya membedakan dua istilah dalam sejarah Indonesia, yaitu perjuangan dan pergerakan. Sejarah perjuangan, kata dia, terjadi sejak ada manusia di Nusantara hingga sekarang. Sementara sejarah pergerakan nasional adalah peristiwa munculnya pola perjuangan yang berbasis pada akal, bukan kekerasan, yang dimulai 1908 hingga 1945.

Karena itu, menurut Hariyono, organisasi Boedi Oetomo yang didirikan pada 1908 oleh Soetomo dan kawan-kawan, merupakan awal pergerakan nasional yang pola perjuangannya menggunakan akal, yaitu dengan senjata organisasi yang tidak mengandalkan pada kekuatan senjata konvensional, seperti pada masa-masa sebelumnya.

Menurut Hariyono, organisasi Boedi Oetomo yang didirikan pada 1908, kemudian menstimulasi lahirnya organisasi modern, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dipimpin oleh KH Samanhudi yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) saat dipimpinan HOS Cokroaminoto. Yang menarik adalah, ungkap dia, SDI yang berorientasi untuk kemandirian ekonomi, kemandiriannya kemudian diikuti kemunculan partai politik 'Indische Partie' yang dipimpin oleh tiga serangkai, yaitu Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat.

"Pada titik inilah muncul konsep kebangsaan yang inklusif, sehingga orang-orang Indo, seperti Douwes Dekker tidak lagi mengambil jarak dengan kaum pribumi, dan gerakannya sudah konkret yaitu bebas dari Belanda," kata guru besar Universitas Negeri Malang tersebut.

Hariyono memaparkan tentang kebangsaan dan Pancasila, di mana nilai kebangsaaan yang berbasis primordial menjadi tidak primordial, yaitu bagaimana membangun suatu bangsa yang besar dan itu bisa dilakukan jika ada persatuan. Pemikiran yang berkembang pada saat itu, kata dia, kemudian memantik pikiran Bung Karno pada 1918 untuk tidak lagi mengikuti konsep kosmopolitan yang antinegara. Pada 1927, menurut dia, Bung Karno mengusulkan konsep 'Ketuhanan'.

Saat mendirikan PNI, Bung Karno pun mengenalkan 'Sosio Nasionalisme' dan 'Sosio Demokrasi'. "Selanjutnya dalam Sidang BPUPKI, beliau mengatakan 'Pancasila' bisa diperas menjadi 'Trisila', yakni Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Hariyono.

Dalam kaitannya dengan demokrasi, Hariyono melanjutkan, baik Bung Karno maupun Bung Hatta tidak menginginkan demokrasi yang dikembangkan seperti di Amerika Serikat (AS) dan Prancis yang memisahkan politik dengan ekonomi. Dia juga menyinggung pidato Bung Hatta yang disampaikan di Sidang KNIP pada 1948 berjudul 'Mendayung di Antara Dua Karang', yang bertujuan agar bangsa Indonesia tidak mengikuti imperalisme AS dan komunisme Uni Soviet.

Relevansinya dengan keaadan sekarang, kata dia, adalah Indonesia tidak boleh sekadar ikut kepada blok AS maupun kepada China yang menjadi negara adikuasa. Pasalnya, kedua negara tersebut datang ke Indonesia bukan untuk menebarkan ideologi, tetapi mencari rezeki.

"Kita harus pandai-pandai mendayung di antara kedua karang dan mampu menempatkan kepentingan nasionalnya dari pengaruh kekuatan negara-negara besar, dan tidak larut dalam persaingan negara-negara besar," ucap Hariyono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement