Kamis 21 May 2020 05:43 WIB

Sertifikasi Halal Bisa Jadi Polemik di RUU Ciptaker?

MUI bukanlah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan sertifikt

label halal
Foto: Yogi Ardhi/Republika
label halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan sertifikat. Jika hal itu terjadi maka bisa menimbulkan polemik bagi pelaku UMKM yang harus mendapatkan label sertifikasi halal.

Hal tersebut menjadi salah satu bahasan dari diskusi virtual bertajuk ‘’Kepentingan Publik dalam Omnibus Law: Ada di Mana’’ yang diselenggarakan Said Aqil Siradj Institut di Jakarta, Rabu (20/5).

Meski demikian, cendekiawan muslim Abdul Khaliq Ahmad, menganggap adanya ketentuan ini dinilainya cukup aspiratif. Dengan demikian, kata dia, akan membuka ruang bagi ormas Islam lainnya untuk memeriksa kehalalan.

‘’Sebelumnya kan hanya MUI yang dilibatkan. Dalam RUU Ciptaker, dibuka ruang lebih luas,  mengundang ormas lain. Kita tahu, kompetensi ormas di luar MUI banyak yang memenuhi syarat,’’ katanya.

Menurut Ahmad, dari segi keterlibatan lembaga yang ikut memeriksa halal, RUU Ciptaker dinilainya cukup aspiratif. Ia menilai  adanya hal ini menjadi suatu kemajuan karena dalam undang-undang sebelumnya peluang keterlibatan ormas Islam tertutup.

“Idealnya, Kemenag posisinya lebih sebagai regulator. Soal pelaksanaan bisa diberikan kepada organiasi keagamaan yang dianggap memenuhi persyaratan,’’ kata Ahmad yang juga pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI).

Sejauh ini, keterlibatan ormas selain MUI dalam RUU Ciptaker menjadi salah satu isu yang menimbulkan perdebatan sejak draft RUU diserahkan ke DPR dan dirilis ke publik. Sejumlah pihak menilai ketentuan ini akan menimbulkan beda pandangan, dan bisa membebani pihak yang akan mengajukan sertifikasi halal. Pasalnya, pihak yang mengajukan harus mendatangi satu per satu ormas Islam.

Sebaliknya, menurut Ahmad, kondisi ini akan memudahkan para pengusaha yang membutuhkan sertifikasi halal. Karena selama ini, ada jutaan UMKM yang membutuhkan legitimasi halal tapi berpusat di MUI.

‘’Sertifikasi halal selama ini tidak mudah. MUI dalam 1 tahun menyelesaikan hanya sekitar 200 ribuan lebih. Padahal sertifikasi jaminan produk halal yang dibutuhkan mencapai 64 juta. Karenanya perlu dilibatkan ormas lain yang memiliki kompetensi seperti NU dan Muhammadiyah, di luar MUI. Kemenang biar menjadi regulator saja,’’ kata Ahmad.

Ahmad menegaskan, memajukan produk halal harus menjadi komitmen bersama. Karena itu, peran ulama di luar MUI juga perlu dipastikan dalam pemeriksaan kehalalan sebuah produk.

”Saya kasih contoh, kehalalan produk yang berasal dari hewan dan dijual oleh pedagang kaki lima itu kan harus jelas. Kalau Kemenag yang mensertifikasi tidak mampu karena keterbatasan SDM, ini perlu diberikan ke Ormas,’’ kata Ahmad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement