Senin 18 May 2020 15:49 WIB

Pemerintah Seriusi Pelonggaran Pembatasan Sosial

Presiden menekankan pentingnya masyarakat agar siap memasuki new normal.

Rep: Sapto Andika Candra / Red: Ratna Puspita
Menko PMK Muhadjir Effendy
Foto: Republika/Prayogi
Menko PMK Muhadjir Effendy

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah benar-benar menyeriusi rencana pelonggaran pembatasan sosial. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan, rencana pengurangan pembatasan sosial ini telah dibahas dalam rapat terbatas hari ini bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Alih-alih menggunakan diksi 'pelonggaran', Muhadjir memilih memakai kata 'pengurangan'. "Jadi mengurangi PSBB, dalam rangka untuk meningkatkan atau memulihkan produktivitas. Dan di satu sisi wabah covid-19 tetap bisa dikendalikan dan ditekan hingga nanti pada antiklimaks bisa selesai terutama setelah ditemukan vaksin," jelas Muhadjir dalam keterangan pers usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Senin (18/5). 

Baca Juga

Dalam ratas siang tadi, ujar Muhadjir, presiden menekankan pentingnya masyarakat agar siap memasuki new normal atau normal baru dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Artinya, seluruh kegiatan masyarakat nanti akan berbeda dengan sebelumnya, yakni dengan menerapkan protokol kesehatan secara optimal. 

"Untuk itu presiden telah menetapkan perlunya ada kajian yang cermat dan terukur dan melibatkan banyak pihak untuk mempersiapkan tahap-tahap pengurangan pembatasan sosial atau pengurangan tahap PSBB," katanya. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, presiden memang telah memintanya menyusun strategi khusus untuk 'me-restart' perekonomian dalam kurun waktu yang belum ditentukan. Kebijakan untuk merestart ekonomi ini berkaca pada kinerja perekonomian selama kuartal I 2020 yang anjlok menjadi 2,97 persen.

Angka pertumbuhan ekonomi yang melambat didukung oleh konsumsi rumah tangga yang ikut merosot, begitu juga dengan kinerja investasi, konsumsi pemerintah, ekspor, dan impor. Penurunan juga terjadi dari segi permintaan, termasuk untuk manufaktur, perdagangan, hingga transportasi. 

"Presiden arahkan bahwa sesuai target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP 2020 diharapkan kita bisa menjaga pertumbuhan di 0,5 persen agar di 2021 bisa didorong sekitar mendekati 5 persen," katanya. 

photo
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto - (Antara/Nova Wahyudi)

Selain itu, rencana pelonggaran pembatasan sosial dan restart perekonomian juga mempertimbangkan fakta bahwa jumlah pekerja di Indonesia didominasi oleh sektor informal, yakni 55 persen atau sekitar 70 juta orang. Di perkotaan, tercatat ada 30,5 juta pekerja informal sementara di perdesaan jumlahnya 40 juta. 

"Karenanya, presiden meminta agar dibuat strategi khusus agar kita bisa untuk merestart perekonomian. Arahan presiden dibuatkan kriteria apa yang bisa mendorong dan mengeveluasi kesiapan dari setiap daerah (untuk dilonggarkan) dari unit terkecil, kabupaten kota," jelas Airlangga. 

Dalam menentukan kebijakan pelonggaran pembatasan sosial ini, pemerintah tetap mengacu pada kajian epidemiologi. Airlangga menyebutkan parameter R0 yang mewakili angka reproduksi dasar bagi infeksi virus. Besaran R0 memberikan interpretasi mengenai seberapa parah proses penularan suatu penyakit. 

"Formulasi ini akan disiapkan Bappenas di mana apabila R0 lebih besar dari 1 maka infection rate-nya masih tinggi dan apabila R0 kurang dari 1 maka itu sudah bisa dibuka untuk normal baru," jelas Airlangga. 

Pemerintah selanjutnya akan menyiapkan tahapan-tahapan menuju normal baru yang dimaksud Presiden Jokowi. Namun, Airlangga menegaskan bahwa seluruh tahapan nantinya tetap memperhatikan aspek kesehatan. 

Nantinya akan dibuat sistem penilaian untuk menggambarkan kesiapan setiap daerah dalam menghapdai pelonggaran pembatasan sosial. Kemenko Perekonomian, ujarnya, masih menyiapkan mekanisme penilaian berdasarkan perhitungan epedemiologi (R0), kesiapan daerah, kapasitas kesehatan, kesiapan sektor publik, hingga tingkat kedisipinan masyarakat.

"Respons publik terhadap bagaimana cara bekerja atau cara bersosial di normal baru," jelasnya. 

Kesiapan daerah dalam memasuki normal baru akan dibagi menjadi lima tingkat. Level pertama adalah level krisis yang artinya daerah tersebut belum siap memasuki normal baru. Level kedua, level parah yang juga menunjukkan daerah belum siap memasuki normal baru. 

"Tapi di Jawa Barat rata-rata tidak ada yang di level paling parah," kata Airlangga. 

Level ketiga, bernama level substansial. Keempat, level moderat saat daerah dianggap mulai siap untuk standar normal baru. Level kelima, level rendah (penularan Covid-19) dengan status daerah siap memasuki normal baru. 

"Beberapa sektor sedang siapkan scope-nya, standar operating dan prosedur," jelas Airlangga. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement