Ahad 17 May 2020 09:56 WIB
Pesantren

Perpustakaan Keluarga, Pesantren, Hingga Literasi Bangsa

Refleksi 40 Tahun Perpustakaan Nasional RI

Pelajar mengamati Globe di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Foto:

Ahmadul Faqih Mahfudz, sastrawan dan pegiat literasi asal Nusa Tenggara Barat dalam dalam tulisannya “Berawal dari Perpustakaan Keluarga” yang terbit dalam Kompas edisi 25 Agustus 2018, mendorong para orang tua dan pemegang kebijakan mulai membangun perpustakaan keluarga. Menurutnya, perpustakaan keluarga tak hanya untuk menyimpan koleksi buku, melainkan juga menjadi ruang pertama anak mengawali proses kreatif dan inteligensinya.

Perpustakaan keluarga bisa menjadi dunia petualangan anak dalam merangkai kepingan-kepingan imajinasi, menggali nalar kritis serta kepekaan melalui kata, gambar, dan metafora di dalam buku. Orhan Pamuk, dalam pidatonya berjudul “My Father’s Suitcase” saat menerima Nobel Sastra 2006, menyebut koleksi buku di perpustakaan ayahnya berperan penting dalam membentuk karier kepenulisannya, pribadinya, serta cara pandangnya dalam menatap manusia dan kehidupan. Tak bisa dipungkiri betapa dahsyatnya perpustakaan keluarga bagi anak.

Tidak perlu butuh banyak buku untuk membangun perpustakaan keluarga. Semangat ini bisa dimulai dari sepuluh atau bahkan satu buku. Bukan perkara jumlah, tapi bagaimana kehadiran buku-buku tersebut bisa merangsang keingintahuan anak.

Membangun perpustakaan keluarga secara tidak langsung juga turut andil dalam membentuk watak pluralisme anak. Buku ibarat kotak warna yang berisi beragam warna. Melalui banyak warna tersebut, anak bisa memahami bagaimana rasanya melukis rumput yang hijau, langit yang biru, dan batu yang hitam, di atas sebuah kertas putih.

Perpustakaan keluarga bisa menjadi “laboratorium kecil kebhinekaan” dalam membuka wawasan anak tentang keberagaman Indonesia, yang harus dipahami sebagai sebuah kekuatan bangsa, seperti yang selalu digaungkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga akhir hayatnya. Pembentukan watak pluralisme sedari kecil akan menyadarkan anak tentang pentingnya menimba ilmu dari banyak sumber. Jadi, anak memiliki wawasan yang luas dan tidak bergumul pada satu kebenaran saja.

Membangun perpustakaan adalah membangun rumah peradaban. Oleh karena itu, pengembangan perpustakaan tak melulu harus berkutat pada pengembangan fisik  dan sumber daya perpustakaan itu sendiri, melainkan juga perumusan kebijakan yang tepat, dukungan teknologi di dalamnya, serta mengembangkan aspek sosial-kultural masyarakat hingga elemen terkecil seperti keluarga.

Dari sini kita bisa bertanya, mampukah Perpusnas melahirkan magnum opus dalam dekade-dekade selanjutnya? Tampaknya, generasi muda (pustakawan) yang bisa menjawab itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement