REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo mengimbau masyarakat lebih waspada terkait praktik politik uang di tengah pandemi Covid-19. Kondisi ekonomi Indonesia yang sedang melemah menjadi dasar alasan tindakan politik uang akan meningkat menjelang Pilkada 2020.
"Dalam kondisi ini masyarakat memerlukan bantuan sehingga ada kekuatan baru untuk memberikan uang atau memberikan barang tapi sebagai kepentingan politik," ujar Dewi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/5).
Ia mencontohkan, pada masa sebelum pandemi angka politik uang yang tercatat sudah cukup tinggi. Sementara, pilkada serentak 2020 di 270 daerah, 224 pejawat kepala daerah berpotensi maju kembali dalam pemilihan.
Hal tersebut kemudian diperburuk kondisi saat ini ketika masyarakat membutuhkan bantuan. Dewi juga mengkhawatirkan masyarakat tidak akan melaporkan pelanggaran politik uang tersebut.
"Jadi bertemunya dua kepentingan antara calon (pejawat) dan penerima dikhawatirkan akan meningkatkan angka politik uang. Sehingga kekhawatiran kami nantinya bahwa masyarakat tidak akan melaporkan politik uang," kata dia.
Dewi mengingatkan, hal ini akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi seluruh elemen pemilihan baik masyarakat atau penyelenggara. Pasalnya, tingkat pelaporan politik uang mungkin akan sangat rendah karena banyak yang membutuhkan bantuan.
Namun, Dewi menegaskan, Bawaslu akan tetap melakukan pencegahan. Ia mengaku, saat ini Bawaslu sudah melakukan langkah-langkah meminimalisasi kemungkinan terjadinya politik uang di Pilkada 2020.
"Sebagai bagian penting untuk mencegah terjadinya politik uang, kami sudah meluncurkan beberapa desa antipolitik uang. Ini antisipasi kami karena melihat pada pilkada sebelumnya angka politik uang sangat tinggi," jelas Dewi.
Selain itu, Bawaslu juga tengah melakukan program pendidikan politik dengan meluncurkan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP). Mereka diharapkan bisa menjadi garda depan yang bisa menolak politik uang.