REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Jaramaya, Dwina Agustin, Fauziah Mursid, Kamran Dikarma
Manusia mungkin tidak akan pernah bisa lepas dari cengkeraman virus corona jenis baru atau Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, virus corona dapat menjadi endemik seperti HIV. WHO memperingatkan bahwa virus ini tidak akan pernah hilang.
"Virus ini mungkin akan menjadi endemik dan tidak akan pernah hilang, seperti HIV belum hilang. Kita harus realistis karena tidak ada yang dapat memprediksi kapan penyakit ini akan hilang. Penyakit ini dapat menjadi masalah yang panjang," ujar Direktur Kedaruratan WHO, Mike Ryan, dilansir Aljazirah, Kamis (14/5).
Ryan mengatakan, seluruh negara di dunia dapat mengendalikan virus corona meski membutuhkan upaya besar. Bahkan, jika vaksin sudah ditemukan bukan berarti perjalanan untuk memerangi virus tersebut telah selesai.
Lebih dari 100 vaksin sedang dikembangkan, dan beberapa dalam uji klinis. Namun para ahli kesulitan menemukan vaksin yang efektif mencegah Covid-19.
Ryan menambahkan, setiap negara harus melakukan kontrol yang sangat signifikan untuk menurunkan risiko penyebaran. Beberapa negara telah melonggarkan lockdown dan membuka kembali aktivitas ekonomi. Menurut Ryan, membuka perbatasan darat lebih berisiko ketimbang mengurangi perjalanan udara.
Hampir seluruh negara yang terkena dampak penyebaran virus corona telah melakukan lockdown secara nasional sejak Januari lalu. Kebijakan ini telah membuat pertumbuhan ekonomi sejumlah negara merosot karena tidak ada aktivitas ekonomi. Pemerintah di seluruh dunia dihadapkan pada tantangan antara membuka kembali ekonomi dan kemungkinan ancaman penyebaran virus korona gelombang kedua.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, virus korona telah membuat sejumlah negara frustasi dan ingin segera mengakhiri kebijakan pembatasan yang ketat. WHO memperingatkan kepada sejumlah negara yang telah melonggarkan lockdown bahwa mereka harus tetap waspada pada level tinggi.
Sebagian negara-negara di Eropa mulai proses pembukaan kembali setelah lockdown. Para pejabat di negara-negara seperti Prancis dan Spanyol memberanikan diri dengan data yang menunjukkan penurunan tingkat kematian.
Jerman sebelumnya melaporkan terjadi kenaikan infeksi virus corona setelah mengambil langkah awal untuk melonggarkan lockdown. "Sekarang kita melihat beberapa harapan ketika banyak negara keluar dari apa yang disebut lockdown ini," kata kepala program kedaruratan WHO, Dr Mike Ryan.
Ryan menekankan kewaspadaan ekstra oleh setiap negara perlu dilakukan. Hal ini menimbang beberapa negara mulai kembali menemukan peningkatan kasus baru, seperti Korea Selatan dengan kasus di klub malam.
"Jika penyakit berlanjut pada tingkat rendah tanpa kapasitas untuk menyelidiki klaster, selalu ada risiko bahwa virus akan lepas landas lagi," kata Ryan.
WHO berharap, Jerman dan Korea Selatan akan dapat menekan kelompok baru dan memuji pengawasan. Cara ini merupakan kunci untuk menghindari gelombang kedua yang besar terjadi di negara yang melonggarkan pembatasan.
"Sangat penting bagi kami untuk mengangkat contoh negara-negara yang bersedia untuk membuka mata mereka dan bersedia untuk membuka mata mereka," kata Ryan menyinggung negara yang mencoba membuka wilayah tanpa perhitungan matang.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan pembatasan pencabutan adalah langkah rumit dan sulit. "Lockdown yang terkunci secara perlahan dan mantap adalah kunci untuk melindungi kehidupan dan mata pencaharian," katanya.
Tedros mengatakan, Jerman, Korea Selatan, dan China yang telah melaporkan sebuah kluster baru di Wuhan, harus memiliki sistem untuk merespons setiap kebangkitan dalam kasus yang terjadi. "Sampai ada vaksin, paket langkah-langkah komprehensif adalah seperangkat alat kami yang paling efektif untuk mengatasi virus," kata Tedros.
WHO juga memperingatkan terhadap gagasan di beberapa negara jika tidak mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan penyebaran virus. "Studi serologis awal mencerminkan bahwa persentase yang relatif rendah dari populasi memiliki antibodi terhadap Covid-19," kata Tedros.
Tedros menunjukkan bahwa ini berarti sebagian besar populasi masih rentan terhadap virus. Lebih dari 90 penelitian serologis di beberapa negara sedang meneliti adanya antibodi dalam darah untuk menentukan seseorang memiliki infeksi di masa lalu atau tidak.
Ahli epidemiologi WHO, Maria van Kerkhove mengatakan, badan PBB ini memang belum dapat mengevaluasi studi secara kritis. Data awal yang dirilis menunjukkan bahwa antara satu dan 10 persen orang memiliki antibodi. "Tampaknya ada pola yang konsisten sejauh ini sehingga sebagian kecil orang memiliki antibodi ini," kata Kerkhove.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengingatkan masyarakat membiasakan pola hidup baru dalam melawan Covid-19. Yurianto menerangkan, selama belum ditemukan vaksin Covid-19, maka masyarakat belum terbebas dari virus tersebut.
Ia mengatakan, satu-satunya cara melakukan pencegahan dengan membiasakan pola hidup yang bersih dan sehat. "Kita sadari betul bahwa sekarang ini belum ditemukan vaksin, belum ditemukan obat, karena itu sekarang kita harus beradaptasi dengan situasi yang seperti ini. Mari kita kembali lagi kepada norma-norma baru yang harus kita jalani," ujar Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (13/5).
Ia menjelaskan, cara hidup gaya baru ini yakni menerapkan pola hidup bersih dan sehat, rajin mencuci tangan, menggunakan masker menghindari kerumunan, menjaga imunitas diri dengan istirahat dan beraktivitas yang seimbang. Masyarakat, kata Yurianto, harus menyadari virus Covid-19 ini harus tetap dikendalikan. Apalagi, pandemi ini tidak hanya terjadi di Tanah Air, tetapi juga secara global.
"Ini bukan hanya masalah negara kita, ini masalah dunia, ini masalah global, artinya kalau kita tidak beradaptasi dengan cara hidup yang baru, maka kita tidak akan bertahan menghadapi Covid-19," katanya.
Menurutnya, dengan gaya hidup baru ini juga, tidak hanya bisa mengendalikan virus Covid-19 tetapi juga penyakit menular lainnya. "Mudah-mudahan ini juga akan bisa mengubah perilaku kita keseluruhan, sehingga bukan hanya Covid 19 yang bisa kita kendalikan tetapi penyakit yang lain yang penularannya juga mirip dengan Covid," katanya.
Salah satu bukti negara yang agaknya masih harus menahan laju kehidupannya akibat corona adalah China. Ditemukannya klaster positif baru di Wuhan membuat seluruh warga kota akan menjalani tes.
The Wuhan Covid-19 Epidemic Prevention Headquarters telah memerintahkan semua distrik menyusun rencana 10 hari uji coba nukleat. Tes tersebut harus mencakup penduduk tetap serta populasi yang berpindah-pindah. Kawasan perumahan dan daerah berpenduduk padat tak boleh luput dari jangkauan tes.
Ketua Partai Komunis Wuhan Wang Zhonglin mengatakan pengujian harus diperluas meskipun angka infeksi Covid-1 telah menurun signifikan. “Kita harus menyadari secara mendalam bahwa pencapaian yang menentukan bukan berarti kemenangan yang menentukan, dan bahwa menurunkan respons tanggap darurat bukan berarti menurunkan pertahanan,” katanya, dikutip dari South China Morning Post.
Akhir pekan lalu, Wuhan melaporkan enam kasus baru Covid-19. Warga yang terinfeksi tinggal di kompleks perumahan yang sama. Tempat tersebut dikenal sebagai Sanmin. Itu merupakan penemuan kasus pertama sejak 3 April.
Seorang warga Sanmin, yakni pria berusia 89 tahun, menunjukkan gejala pada awal Maret. Namun ia tidak dikonfirmasi sebagai pasien positif hingga Sabtu (9/5) pekan lalu. Hal tersebut mendorong otoritas setempat melakukan pengujian terhadap 5.000 warga lainnya. Hasilnya, ditemukan lima orang lainnya yang positif Covid-19.