Senin 11 May 2020 20:03 WIB

IDI: Pelonggaran Mudik Buat Ribet

Ketum IDI meminta pemerintah tutup kebocoran aturan mudik.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas Kepolisian mengecek identitas mobil pribadi yang melintasi tol Jakarta-Cikampek di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (9/5/2020). Direktorat Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya akan menindak tegas kendaraan yang berupaya membawa penumpang keluar Jabodetabek dengan Undang- Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) saat penerapan larangan mudik.
Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Petugas Kepolisian mengecek identitas mobil pribadi yang melintasi tol Jakarta-Cikampek di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (9/5/2020). Direktorat Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya akan menindak tegas kendaraan yang berupaya membawa penumpang keluar Jabodetabek dengan Undang- Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) saat penerapan larangan mudik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) khawatir kebijakan pemerintah yang melonggarkan mudik dan memperbolehkan orang pulang kampung justru bisa membuat ribet. Artinya pemerintah dan tenaga kesehatan harus bekerja dua kali untuk mengawasi dan mengecek pergerakan orang mudik.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI Daeng M Faqih mengakui, pemerintah memang memperketat syarat orang yang bisa balik ke kampung.  "Memang masyarakat harus memenuhi syarat mudik yaitu pulang dalam keadaan sehat tetapi pekerjaan pemerintah akan lebih ribet, artinya petugas harus bekerja ekstra. Apalagi wilayah Indonesia luas sekali, pasti ada bocor-bocornya," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (11/5).

Baca Juga

Artinya, dia melanjutkan, tidak menutup kemungkinan masyarakat yang lepas dari pengawasan karena banyaknya jalan tikus di negeri ini. Persoalan ditambah dengan orang Indonesia yang banyak akal untuk mencapai tempat mudik.

Karena itu, ia menegaskan menjadi tugas pemerintah untuk menutup potensi kecolongan atau bocor-bocor tersebut. Ia meminta pemerintah harus menjamin seluruh masyarakat yang mudik bisa memenuhi syarat yang telah ditentukan.

"Itulah yang saya bilang pekerjaan ini tidak mudah di lapangan. Idealnya agar tidak ribet pengawasannya dan tidak ada bocor-bocor memang harus dilarang pergerakan orang," katanya.

Tetapi karena yang diterapkan sebaliknya, ia meminta pemerintah daerah (pemda) di tujuan mudik harus siap. Artinya semua yang datang harus diperiksa ketat, baik dari kota besar yang kebanyakan zona merah atau luar negeri.

Pemudik ini harus dikarantina terlebih dahulu dan menerapkan protokol kesehatan. Ia mengusulkan, karantina yang paling efektif adalah yang berbasis desa. Artinya, unsur aparat desa, aparat keamanan, Babinkam, Babinsa, RT/RW, kades, petugas kesehatan seperti puskesmas, kader bisa diberdayakan mendirikan pos desa mengawasi orang yang masuk dan keluar desa. 

Kemudian, dia melanjutkan, kalau ada pendatang yang sakit bisa dikirim ke rumah sakit dan menelusuri kontak pasien. Terakhir, ia berharap pemerintah deaerah membuat RS khusus corona untuk fokus pelayanan dan mencegah penularan.

Ia optimistis, kalau kegiatan ini kompak dilakukan dan social distancing benar-benar diterapkan maka upaya ini efektif menekan penularan di lokasi mudik.

"Sebaliknya, jika upaya ini tidak dilakukan dengan efektif maka peningkatan kasus pascamudik bisa terlihat H+7 sampai H+14. Makanya saya bilang PSBB dan social distancing berbasis desa harus dilakukan untuk menapis (penularan Covid-19)," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement