REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rusli Cahyadi mengatakan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi hambatan mencapai tujuan besar memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Rusli menuturkan relaksasi kebijakan untuk pelonggaran PSBB dapat dilakukan jika pertambahan kasus Covid-19 melandai atau kurva kasus Covid-19 menurun dan stabil, seperti yang dipraktikkan di negara-negara lain.
"Di negara kita belum lihat ada kurva yang menurun atau kurva yang stabil melandai, yang menurun dan stabil terus," kata Rusli, Senin (11/5).
Sementara, saat ini belum ada tren kasus Covid-19 menurun atau melandai sehingga jika menerapkan pelonggaran PSBB maka bisa berdampak pada peningkatan kasus Covid-19. "Mereka (negara lain) mengeluarkan aturan relaksasi ketika pertambahannya itu melandai, semakin landai atau pertambahan nol itu yang terjadi di negara-negara lain," ujar Rusli.
Rusli mempertanyakan indikator yang dipertimbangkan dan dasar pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah dalam perencanaan pelonggaran PSBB. "Apa sebenarnya yang terjadi dengan urusan ekonomi itu apakah memang nilai kerugian (ekonomi) yang kita akan hadapi itu sebanding dengan nilai kehilangan nyawa atau jumlah orang yang terkena penyakit ini," ujarnya.
Rusli mengharapkan pemerintah tidak terburu-buru melakukan pelonggaran PSBB. Dia mengatakan saat ini sebaiknya PSBB diperketat, bukan direncanakan dilonggarkan karena lalu lintas kendaraan di jalanan sekarang ini sudah mulai kelihatan normal seperti sebelum pandemi, padahal saat ini jumlah kasus Covid-19 belum menurun di Indonesia.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, ketika pelonggaran diberlakukan, itu tidak berarti masyarakat tetap disiplin kuat melakukan jaga jarak, menggunakan masker dan upaya pencegahan lain. "Saya yakin begitu pelonggaran ini diberikan, kita lihat nanti angka penyebaran itu akan meningkat dalam dua minggu ke depan," ujarnya.