Senin 11 May 2020 16:41 WIB

Tes Covid-19 Masih Jauh dari Target

Jokowi mengeluhkan tes PCR Covid-19 belum bisa mencapai target 10 ribu tes per hari.

Petugas medis mengambil sampel lendir dari seorang penumpang KRL saat tes swab COVID-19 di Stasiun Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5/2020). Tes swab tersebut dilakukan kepada 200 calon penumpang secara acak dengan mengumpulkan sampel lendir dari bagian belakang hidung dan tenggorokan sebagai salah satu metode untuk mendeteksi dan mencegah penyebaran virus COVID-19 di transportasi umum
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Petugas medis mengambil sampel lendir dari seorang penumpang KRL saat tes swab COVID-19 di Stasiun Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5/2020). Tes swab tersebut dilakukan kepada 200 calon penumpang secara acak dengan mengumpulkan sampel lendir dari bagian belakang hidung dan tenggorokan sebagai salah satu metode untuk mendeteksi dan mencegah penyebaran virus COVID-19 di transportasi umum

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra, Rr Laeny Sulistyawati

Tingkat kemampuan tes Covid-19 di Indonesia hingga kini belum bisa mencapai 10 ribu spesimen per hari seperti yang ditargetkan Presiden Jokowi. Presiden pun mengeluhkan kemampuan pengujian spesimen di berbagai laboratorium di Indonesia masih jauh dari target.

Baca Juga

Berdasarkan laporan yang diterima Jokowi, kemampuan pengujian spesimen untuk alat tes PCR saat ini baru mencapai 4-5 ribu sampel per harinya.

"Saya baru mendapatkan laporan bahwa kemampuan pengujian spesimen untuk PCR sekarang ini sudah mencapai 4 ribu -5 ribu sampel per hari. Saya kira ini masih jauh dari target yang saya berikan yang lalu yaitu 10 ribu spesimen per hari,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas percepatan penanganan pandemi covid 19 di Istana Merdeka, Senin (11/5).

Lebih lanjut, berdasarkan data dari Gugus Tugas, saat ini sudah ada 104 laboratorium yang masuk dalam jaringan laboratorium covid-19. Presiden pun meminta agar seluruh laboratorium tersebut dipastikan dapat berfungsi maksimal, meskipun 51 laboratorium rujukan di antaranya belum melakukan pemeriksaan.

Jokowi juga menilai perlunya peningkatan sumber daya manusia yang lebih terlatih. Selain itu, ia juga menyinggung masih kurangnya alat pengujian virus corona, seperti PCR, RNA, dan juga VTM.

“Saya lihat terutama kesiapan SDM yang terlatih ini perlu lebih diperhatikan lagi. Juga yang berkaitan dengan masalah di alat pengujian yang masih kurang, terutama untuk reagen PCR, RNA dan VTM. Dan saya minta ini diselesaikan dalam minggu ini,” tegas Jokowi.

Rekor tertinggi jumlah tes harian terjadi pada Jumat (8/5), yakni sebanyak 60 laboratorium mampu menjalankan 9.630 pemeriksaan spesimen dalam satu hari. Sayangnya, angka ini hanya bertahan di satu hari saja. Hari berikutnya, kemampuan tes secara nasional kembali ke angka 7.300 spesimen per hari.

"Karenanya, perintah presiden untuk tingkatkan sumber daya manusia di seluruh lab, termasuk juga kami memberikan arahan kepada seluruh lab untuk merekrut personel baru termasuk bantuan TNI Polri yang memiliki kualifikasi di bidang keperawatan dan kemampuan di bidang laboratorium," ujar Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo.

Penambahan personel diharapkan mampu menambah jam kerja masing-masing laboratorium dari yang biasanya 1-2 rotasi petugas dalam satu hari, menjadi 2-3 rotasi dalam sehari. Bila sebagian besar laboratorium mampu bekerja 24 jam, ujar Doni, maka target pemerintah untuk merampungkan pemeriksaan terhadap 280 ribu orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) bisa segera rampung.

Di sisi lain, kendati jumlah pasien positif naik signifikan pada akhir pekan lalu, namun tingkat keterisian rumah sakit rujukan justru menurun. Doni menyampaikan RS Fatmawati misalnya, terisi 22 tempat tidur dari totalnya 84 tempat tidur yang tersedia untuk perawatan pasien Covid-19.

"Artinya terisi 26,2 persen. RS Mintoharjo 18 pasien dari 58 bed yang tersedia. Kemudian juga RS Polri Sukanto hanya terisi 65 dari 240 bed. RSUD Pasar Minggu hanya terisi 13 dari 168. RS Persahabatan hanya terisi 40 dari 171. Ini menunjukan bahwa jumlah pasien yang sembuh semakin banyak," ujar Doni.

Doni memberikan analisis, laju penambahan pasien sembuh yang semakin tinggi setiap harinya memberikan ruang lebih banyak kepada pihak rumah sakit untuk merawat pasien. Belum lagi, tidak semua pasien positif dirawat di rumah sakit rujukan. Pasien dengan gejala ringan-sedang dirawat di Wisma Atlet atau diminta melakukan isolasi mandiri dengan ketat.

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menambahkan, secara umum kurva penambahan kasus positif secara nasional memang mulai menunjukkan perlambatan secara mingguan. Ia mengingatkan bahwa kurva penambahan kasus ini harus dilihat secara mingguan, bukan harian, untuk menunjukkan tren yang lebih jelas.

"Dilihatnya laju kasusnya ini berdasarkan kasus mingguan, dari 10 provinsi terbanyak di Indonesia. Memang sempat di April meningkat, sempat melandai sedikit. Jadi sebenarnya yang dimaksud kurva melandai ini adalah sebuah tren yang dilihatnya tak bisa harian namun mingguan," ujar Wiku.

Wiku menyebutkan, apabila tren mingguannya terus menurun secara konsisten, maka itulah yang disebut kurva penambahan kasus positif mulai melandai.

"Kurvanya tidak melandai, namun konteks laju penambahannya yang menurun. Otomatis jumlah kumulatif stagnan dan landai," katanya.

Kondisi penambahan kasus di setiap daerah pun masih dinamis. Wiku menyebutkan, DKI Jakarta justru menunjukkan penambahan kasus yang masih fluktuatif dengan kenaikan dan penurunan yang terus berubah-ubah. Menurutnya, kenaikan kasus secara signifikan di DKI Jakarta disebabkan jangkauan pemeriksaan spesimen yang semakin meluas.

"Lalu Jawa Barat, sempat menurun bagus, namun naik lagi sepekan lalu. Ini harusnya menjadi alat navigasi. Satu data penting sekali untuk tunjukkan tren. Dan kalau beberapa aktivitas ekonomi dibuka, dasarnya harus melihat per daerah bukan hanya nasional. Itu konteksnya dari kurva melandai," kata Wiku.

Manager Grup Epidemiologi Spasial, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar meminta pemerintah jangan terburu-buru mengklaim kasus positif terinfeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) di Indonesia menurun. Sebab, spesimen yang diperiksa di Indonesia belum banyak.

Menurut Iqbal, total orang yang diuji Covid-19 di Indonesia belumlah sebanyak negara-negara lain seperti Italia, Amerika Serikat (AS) bahkan Vietnam. "Total orang yang diuji Covid-19 di Indonesia adalah 0,4 per 1.000 orang. Bandingkan dengan Italia yaitu 39 per 1.000 orang, AS yaitu 24 per 1.000 orang, Vietnam 2,7 per 1.000 bahkan negara tetangga Malaysia bisa 7 per 1.000," ujarnya saat webinar konferensi video dalam jaringan, Ahad (10/5).

Apalagi, ia menambahkan, populasi di Indonesia cukup banyak dan pemeriksaan yang telah dilakukan belum cukup banyak untuk menilai situasi jumpah kasus positif Cirona yang sesungguhnya. Ia meminta pemerintah melihat dan membandingkan rasio pemeriksaan di Tanah Air dengan negara lain.

Kalau pemeriksaannya sudah tinggi seperti Vietnam, Malaysia mungkin Indonesia bisa mengklaim penurunan kasus. Karena itu, ia meminta pemerintah tidak terburu-buru dan bersabar. Apalagi, ia menambahkan, jumlah spesimen yang diperiksa memungkinkan lebih tinggi dibandingkan orang yang dites.

"Karena satu orang bisa diambil spesimennya lebih dari sekali, misalnya sebanyak dua kali. Jadi ini fluktuatif banget," katanya.

Terlebih, ia menyebut laporan harian kasus Covid-19 yang biasanya diumumkan pemerintah setiap sore berdasarkan per tanggal yang dilaporkan, bukan tanggal pemeriksaan. Ia menambahkan, meski data itu benar tetapi laporan tidak cukup menilai apakah laju epidemiologi Covid-19 di Indonesia sudah landai atau belum.

Karena itu, ia meminta pemerintah segera membuat kurva epidemiologi sesuai dengan standar epidemiologi. Ia menambahkan, kurva ini penting untuk menilai efektivitas pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus penularan Covid-19 baik secara kualitatitatif maupun kuantitatif. Ia menambahkan, kurva epidemiologi ini bisa membantu untuk alat analisis untuk menilai PSBB.

"Kurva ini bisa dibuat untuk analisis sepanjang datanya benar, kurvanya benar, dan cara blmembacanya benar," ujarnya.

Kendati demikian, pihaknya menyadari persoalan negara ini bukan hanya tentang pemeriksaan melainkan juga big data management. Artinya, ia menambahkan, manajemen data yang dimiliki Indonesia belum rapi.

"Anda bisa bayangkan sampel diambil di fasilitas kesehatan, kemudian dikirim ke laboratorium Covid-19, hasilnya dikumpulkan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kemenkes sebagai otoritas, di satu sisi ternyata ada rumah sakit yang juga mengumpulkan data pasien. Jadi sistem data ini belum terintegrasi, sehingga Anda bisa melihat ada data (kasus positif Covid-19) yang masuk ke Litbangkes Kemenkes tetapi itu tidak ada di rumah sakit dan sebaliknya," ujarnya.

photo
Asupan protein untuk penderita Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement