Senin 11 May 2020 06:58 WIB

Pelonggaran PSBB, Apa dalam Praktiknya PSBB Kurang Longgar?

Sebenarnya secara praktik kelonggaran PSBB itu sudah ada.

Ratna Puspita
Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*)

Pada suatu malam beberapa hari lalu, saya keluar rumah ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan kartu-kartu penting. Saya dibonceng sepeda motor oleh ayah saya. Pulang dari kantor polisi, saya melihat banyak juga yang keluar malam itu menggunakan kendaraan, baik sepeda motor maupun mobil.

Jangan suuzan dulu, mungkin mereka memang punya keperluan keluar rumah seperti saya. Keperluan penting lain yang akan mendorong orang keluar rumah pada masa pandemi ini adalah belanja kebutuhan pokok atau takjil ketika menjelang berbuka puasa, menyambangi rekan atau kerabat maupun keluarga, serta bekerja.

Setelah berpekan-pekan lebih banyak di rumah, orang mungkin akan memanfaatkan kesempatan melakukan keperluan penting tersebut. Keluar rumah sesekali di tengah pandemi mungkin bisa melonggarkan urat saraf.

Selain itu, pembatasan sosial berskala besar atau PSBB yang diterapkan memang tidak melarang orang keluar rumah. Kita tidak sedang menjalani karantina wilayah atau lockdown.

Tidak ada sanksi bagi mereka yang keluar rumah. Cek poin juga hanya dilakukan di sejumlah titik tertentu, tidak di semua titik perlintasan kendaraan.

Karena kondisi yang memang tidak ketat alias sudah longgar ini, saya jadi merasa terheran dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang mewacanakan relaksasi atau kelonggaran PSBB. Apa yang mau dilonggarkan ketika sebenarnya secara praktik kelonggaran itu sudah ada?

Pak Mahfud menyodorkan penerapan PSBB yang berbeda-beda di setiap daerah. Entah apakah beliau ingat sebenarnya perbedaan penerapan PSBB yang berbeda-beda ini juga didukung oleh pemerintah pusat.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada bulan lalu, tepatnya 9 April 2020, sempat menyatakan bahwa PSBB tidak diberlakukan seragam di semua daerah. PSBB diterapkan berdasarkan kondisi setiap daerah.

Tidak lama setelah pernyataan Jokowi, atau pada 14 April 2020, saya juga ingat pernah membaca Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan penerapan aturan terkait ojek online bisa diterapkan berbeda di setiap daerah. Kala itu, Luhut menyatakan, karakteristik daerah di Indonesia berbeda-beda sehingga pemda bisa mengatur sendiri kebutuhannya.

Entah mungkin Pak Mahfud lupa atau pemerintah terbiasa dengan aturan atau kebijakan yang berubah-ubah selama pandemi Covid-19 ini. Kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah ini sempat juga dicatat oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. Selain persoalan ojek daring boleh angkut penumpang atau tidak, Robert dalam wawancara Republika beberapa waktu lalu menyebutkan aturan Kementerian Desa soal penggunaan dana desa juga sempat membuat bingung kepala daerah.

Atau mungkin pemerintah pusat memang dalam posisi serbabingung dengan kondisi pandemi yang menghentikan hampir sebagian besar kegiatan masyarakat. Tanpa produksi, masyarakat tidak bisa melakukan konsumsi. Tanpa konsumsi, ekonomi tidak bisa berjalan.

Alasan ekonomi ini berulang kali terucap sejak Januari, mohon maaf mengingatkan, sehingga membuat Indonesia terlambat mengantisipasi virus corona 2019 (Covid-19). Alasan ekonomi kembali muncul pada perubahan kebijakan soal transportasi beberapa hari lalu.

Mulai 7 Mei 2020 lalu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengizinkan transportasi darat (termasuk kereta api), laut, dan udara kembali beroperasi. Ada syarat dan ketentuan dalam aturan ini. Layanan transportasi hanya untuk mereka yang diizinkan bepergian di antaranya orang-orang yang melakukan pelayanan fungsi ekonomi penting.

Apa itu pelayanan fungsi penting? Tidak ada penjelasan detail dalam rilis yang dikeluarkan pemerintah, tetapi bagian ini memberikan izin bagi siapa pun yang bekerja di instansi pemerintahan maupun di swasta dan lembaga lain yang memiliki urusan ekonomi.

Dalam penjelasan pada berita-berita lain, hal ini bisa diberikan kepada orang yang bekerja terkait proyek infrastruktur dan bahkan anggota DPR. Mereka yang diizinkan ini harus melengkapi diri dengan sejumlah dokumen, termasuk KTP, surat tugas dari instansi, dan melaporkan rencana perjalanan (termasuk waktu keberangkatan dan kepulangan).

Siapa yang akan mengawasi bahwa mereka yang melakukan perjalanan ini adalah orang-orang yang memang sesuai edaran? Kita harus mengandalkan petugas-petugas pada layanan transportasi melakukan tugasnya dengan baik.

Pertanyaan yang juga muncul adalah bagaimana pemerintah memastikan bahwa ketika ada orang bepergian tidak akan makin membuat virus tersebar? Pertanyaan ini muncul dari kekhawatiran kondisi serba terbatas bergerak ini akan berlangsung lebih lama daripada yang sudah diperkirakan.

Terkait transportasi dan Covid-19, tiga penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Bekasi-Jakarta dinyatakan positif Covid-19 dari hasil uji swab PCR yang dilakukan di Stasiun Bekasi pada 5 Mei lalu. Temuan ini membuat kepala daerah di Bekasi, Depok, dan Bogor mendorong operasi KRL komuter untuk disetop. Usulan tersebut sudah ditolak dan KRL komuter tetap beroperasi.

Terbaru soal transportasi dan Covid-19, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bandara Internasional Soekarno-Hatta menyatakan ada 11 penumpang yang dinyatakan positif terinfeksi virus (Covid-19). Bahkan, lebih dari 40 penumpang yang menggunakan pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta sejak April 2020 terindikasi positif Covid-19.

Data tersebut membuat sebagian masyarakat khawatir kemungkinan penularan-penularan lain. Sementara itu, bagi pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat, perubahan kebijakan bakal memusingkan di level penerapan.

Misalnya, Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin yang memilih mengabaikan edaran menhub soal operasional transportasi sudah mengekspresikan pendapatnya soal ini. "Ketika kita melaksanakan suatu aturan, besoknya berubah lagi, ini cukup membingungkan. Bagaimana kita akan cepat menghabisi virus ini kalau beberapa regulasi tumpang-tindih," tuturnya.

Protes-protes tersebut sudah selayaknya pada negara yang mengusung nilai-nilai demokrasi. Namun, mungkin, paradigma yang ada sekarang ini memang “asalkan sudah landai, ekonomi bisa berjalan”.

Atau, pemerintah pusat percaya diri bahwa prediksi Menteri Luhut bakal terjadi, yakni kasus “penyebaran corona selesai pertengahan Juni atau bahkan dekat-dekat Lebaran sehingga sebagian fasilitas publik seperti Ancol bisa buka”.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement