Selasa 05 May 2020 16:20 WIB
Didi Kempot

Lord Didi Kempot dan Romantisme Orang Jawa

Romantisme Didi Kempot

Warga mengusung poster ucapan duka cita untuk mengenang penyanyi campursari Dionisius Prasetyo atau Didi Kempot yang meninggal dunia di Solo, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Didi Kempot meninggal dunia saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, Selasa (5/5/2020), dan rencananya akan dimakamkan di tempat kelahiran Ngawi, Jawa Timur
Foto:

Kita biasa memahami romatisme, sebagai menghendaki sesuatu, tapi tidak kesampaian. Atau mengidolakan sesuatu, tapi tidak bisa dari dekat. Ketika seorang pemuda penggemar dangdut mengidolakan Inul Daratista misalnya, dia harus berada di jarak tertentu dengan sang idola. Maka, dia harus ada di tengah penonton, berdesak-desakan dengan lainnya, ketika melihat Inul manggung.

Unsur penting dalam romantisme “Sewu Kutho” ialah kepedulian organik dalam mencari kekasihnya, sehingga dia rela berkorban untuk tidak mendapatkan dirinya. Yang mencari kemungkinan besar tidak akan menemukan yang dicari, kendati seribu kota telah dijelajahi. Sehingga muncul kalimat pasrah yang positif bernuansa romantis. “Umpamane kowe uwis mulyo,” bahwa seandainya kamu sudah bahagia, “Lilo aku lilo”, aku lega dan ikut bahagia.

Dan dia, seperti penyair Perancis Aphonse De Lamartine, minta kepada Tuhan, beri aku kesempatan untuk melihat, walaupun “sak kedepe motho”, “a single glance to give the world”, tetapi itu “kanggo tombo kangen jroning dhodho”, buat obat rindu yang menggumpal di dada.

Ada banyak kemiripan lagu-lagu yang ditembangkan Didi Kempot dengan para pendulunya dalam hal romantisme Jawa ini. Nuansa Gesang, Anjar Any, Manthous, Waldjinah dan yang lain, para pencipta tembang dan penyanyi legendaris berbahasa Jawa samar-samar tak hilang dari lagu-lagu Didi Kempot. Bakat tradisonalnya memang kuat, sehingga tak terlampu ekstrim dalam menyempal pakemnya.

Hanya, barangkali, yang perlu dicatat sebagai yang khas dari lagu-lagu Lord Didi, ialah nuansa egaliternya. Dia pakai bahasa Jawa sehari-hari, campuran “kromo inggil” dan “ngoko”, pilihan katanya akrab dan masuk dalam bahasa keseharian orang Jawa. Simaklah lagu “Kuncung”, anak muda Jawa mana yang belum pernah “kosokan watu nang kali nyeblung neng kedung”?

“Kedung”, bagian dari sungai yang ditumpahi air berlimpah, ialah tempat favorit orang Jawa, mandi. Pada masa lalu, dan bahkan saya sebagai bagian dari subkultur Solo-Yogya, mandi di “kedung” demikian lazimnya. Dan, tentu tak pakai sabun tetapi batu, karena “jaman dhisik durung usum sabun”, masa itu belum musim sabun, karena “pabrike rung dibangun”, pabriknya belum dibangun!

Kisah tentang si Kuncung itu benar-benar berhasil membangkitkan kenangan orang Jawa, masa kecilnya yang suka mandi di kedung. Tapi, saya kira, tak banyak yang ingat akan hal itu sampai Lord Didi menembangkannya.

 

                           ******

Keunggulan Lord kita, Didi Kempot memang pada pilihan temanya yang sehari-hari, baik suatu kisah asmara yang dapat menimpa siapa saja, asmara yang sangat manusiawi, hingga tema-tema romantisme hidup yang sering terasa absurd.

Dengarlah lagu “Layang Kangen”. Barangkali Anda, atau juga saya pernah mengalami kirim surat pada orang yang kita sasar sebagai kekasih. Dan, lantas dia menjawab, “Layangmu tak tompo wingi kuwi,” suratmu sudah kuterima. “Wes tak woco opo karepe atimu,” dan, sudah kubaca apa maksud hatimu. Dan lantas dia bilang terenyuh, lalu lagi lagi “Ora kroso netes eluh neng pipiku”! Luh lagi, luh lagi!

Dan lantas, Lord Didi seperti menangkap kalimat Muhammad Ali atau Rinto Harahap, “Umpomo tanganku dadi suwiwi”, seumpama saja tanganku ini sayap. Ali pernah bilang, “The man who has no imagination has no wings”, manusia kok tak punya imajinasi, kan seperti tak punya sayap!

Dan Rinto Harahap bilang, “Seandainya aku punya sayap, terbang, terbanglah aku!”

Dan terbang itu romantis. Bak seekor tikus yang nangkring di punggung seekor burung, ikut terbang merambah ke tempat-tempat tak terbayangkan, dalam novel Paulo Choelho, The Winner Stand Alone!

Saya kira sumbangan terpenting Lord Didi sekarang ialah, membagi romantisme Jawa untuk semua!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement