REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk mengetahui seseorang terinfeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) yaitu dengan menjalani tiga test yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR), test cepat molekuler (TCM), dan test cepat (rapid diagnostic test/RDT). Kendati demikian test yang menjadi standar utama dan yang paling akurat adalah PCR.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Bakti Bawono Adisasmito menjelaskan, PCR menggunakan gold standar atau standar utama tes Covid-19 karena beberapa sebab.
"PCR memiliki sensitivitas dan spesifitas sekitar 95 persen. Karena itu alat ini dipakai di seluruh dunia untuk memastikan infeksi virus apabila sampel swab diambil dari hidung dan tenggorokan dan kemudian menunjukkan positif atau negatif SARS-CoV2," ujarnya saat video conference bertema Fokus Indonesia untuk Meningkatkan Kapasitas Deteksi Virus di akun youtube di media centre Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Selasa (5/5).
Karena itu, dia menambahkan, test ini sering disebut sistem terbuka dan memerlukan zat reagen serta sampel. Ia menambahkan pelaksanaan tes ini relatif cepat karena hasilnya bisadiketahui dalam beberapa jam.
Selain itu, dia menyebutkan, untuk mengetahui Covid-19 juga bisa dilakukan TCM yang dilakukan dengan meneliti molekuler. "Waktu pelaksanaannya juga relatif cepat dan memiliki sensitivitasdan spesifitas 95 persen," katanya.
Sebenarnya, dia menambahkan, TCM bukan hal yang baru diterapkan di Indomesia. Sebab, dia menyebutkan, alat ini digunakan untuk mendeteksi penyakit lain seperti tuberkulosis (TB), HIV/AIDS dan telah tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Kendati demikian, Wiku mengakui, pelaksanaanya terkendala dengan alat tesnya yang harus diganti berupa kaset atau cartridge khusus Covid-19. Padahal, dia melanjutkan, semua orang di dunia ini tengah mencarinya dan bersaing mendapatkannya.
Test terakhir, dia melanjutkan, adalah RDT. Ia menjelaskan, ada dua jenis RDT yaitu mengetes antibodi di tubuh dan mendeteksi antigen. Kendati demikian, ia menyebutkan RDT baru bisa mendeteksi virus pascaantibodi terhadap Covid-19 muncul.
"Biasanya bisa ketahuan setelah tubuh melawan dan timbul gejala batuk, demam dan lainnya. Di situ rapid test bisa mendeteksinya dan cepat (mengetahui hasilnya)," ujarnya.
Kendati demikian, ia menyebutkan kelemahan tes metode ini adalah spesifitas dan sensitivitasnya yang tidak tinggi yaitu hanya 60-80 persen. Ini mengakibatkan hasil tes bisa berubah yang awalnya positif Covid-19 tetapi bisa saja ketika dites PCR ternyata menunjukkan hasil sebaliknya.
Karena itu, Wiku meminta, harus ada sistem kalau dites RDT menunjukkan hasil positif harus difollow up dengan tes PCR untukmemastikan hasilnya. Artinya, ia menyebut RDT hanya menjadi skrining awal tes. "Masing-masing ada kelebihan dan kelemahan," ujarnya.