REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai destinasi wisata paling populer di Indonesia, Pulau Bali disorot oleh media asing di tengah kondisi pandemi virus corona saat ini. Pulai resor ini menerima setengah juta turis internasional sebulan hingga visa kedatangan dihentikan pada 20 Maret 2020 lalu.
Namun, Bali dianggap menjadi tempat yang menyimpan misteri karena tidak menunjukkan tanda-tanda nyata dari perluasan pandemi Covid-19 di sana. Beberapa hari setelah turis baru dilarang masuk ke pulau itu dan ketika sebagian besar dunia menerapkan lockdown, puluhan ribu orang Bali justru menghadiri upacara Hindu yang menandai Tahun Baru Isaka atau yang dikenal dengan Hari Raya Nyepi.
Salah satu media asing yang menyoroti Pulau Dewata ini adalah Al Jazeera. Media Arab ini menyaksikan nuansa kehidupan di ibukota Bali, Denpasar, pekan lalu. Al Jazeera menyebut bahwa kehidupan di Denpasar berlangsung seperti biasa.
Minimnya kasus dan angka kematian membuat Pulau Bali dianggap sebagai kebal dari virus corona. Padahal, sebelumnya pulau ini dianggap bisa menjadi hotspot virus corona di Indonesia. Pada Sabtu (2/5) lalu, tercatat hanya ada 235 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi di pulau itu, termasuk 121 kasus yang sembuh dan empat kematian.
Imunitas Bali terhadap Covid-19 itu telah memunculkan banyak diskusi di media sosial. Ada yang mengkaitkannya dengan spiritualitas dan mistisisme pulau tersebut. Sebagian mengutip teori konspirasi yang mengklaim bahwa pandemi adalah tipuan yang diciptakan oleh pemerintah.
Lantas, benarkah Bali memiliki kekebalan misterius terhadap virus corona?
Kepala pendeta Masyarakat Hindu Indonesia, Gede Wanasari, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Bali selamat karena karma yang baik dan do'a-do'a orang Bali. Gede juga menunjuk pada masakan Bali, yang menurutnya mengandung banyak herbal yang berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Pandangan ini didukung oleh sejumlah penelitian dan pakar nutrisi di pulau itu.
Dari perspektif medis, seorang ahli epidemiologi di Universitas Padjadjaran di Bandung, Dr Panji Hadisoemarto, juga telah mempertimbangkan kekebalan nyata Bali terhadap Covid-19. Ketika virus tersebut pertama kali diidentifikasi di Wuhan, China, ia berpikir Bali akan menjadi salah satu tempat pertama yang terkena dampak keras karena semua turis Tiongkok.
"Saya salah, dan saya mulai mempertanyakan asumsi di balik model-model ini karena laju penularannya jauh lebih rendah dari yang diperkirakan. Tetapi pertanyaan sebenarnya adalah, apakah ini nyata atau hanya sebuah artefak dari pelaporan yang kurang," kata Hadisoemarto, dilansir di Al Jazeera, Senin (4/5).
Terlebih, Indonesia tercatat sebagai salah satu yang memiliki tingkat pengujian Covid-19 terburuk di dunia. Rasio tes per 1 juta penduduk sejauh ini di Indonesia ialah 374 orang. Menurut situs penghitungan virus corona Worldometer, angka itu lebih rendah dibandingkan dengan Amerika dengan 20.241 orang per satu juta dan 24.600 per satu juta di Singapura. Di Bali, hanya sekitar 1.300 yang telah dilakukan sejauh ini.
Sebelumnya, presiden Joko Widodo sempat mengakui, menahan beberapa informasi tentang Covid-19 agar publik tidak panik. Di sisi lain, Al Jazeera menyebut, bahwa dua sumber independin mengatakan jika beberapa pejabat kesehatan di Bali telah merusak penanganan hasil tes.
Data mungkin bisa saja ditekan, akan tetapi fakta bisa memperlihatkan keadaan sebenarnya. Al Jazeera mencoba mengunjungi Rumah Sakit Universitas Udayana di Bali pada akhir pekan lalu, dan dikatakan tidak ada orang yang menunggu di luar ruang gawat darurat.
Di Rumah Sakit Sanglah, yang terbesar di Bali, Al Jazeera hanya melihat ada sembilan orang yang tengah duduk menunggu. Namun, tidak ada yang menunjukkan gejala Covid-19, seperti batuk kering.
Sementara itu, penggali kubur di tanah pemakaman terbesar di Bali, Pemakaman Muslim Kampung Jawa dan Krematorium Taman Mumbul, mengatakan mereka tidak lebih sibuk daripada biasanya sejak wabah dimulai.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Dr Hadisoemarto mengatakan, ada dua kemungkinan jawaban dari misteri itu. Yaitu apakah tidak ada penularan di Bali atau penularannya tidak bersuara lantaran orang-orang terinfeksi namun kebanyakan dari mereka tidak menunjukkan gejala.
"Apakah itu ada hubungannya dengan genetika, gaya hidup di Bali atau bagaimana virus berperilaku di daerah tropis?" katanya.
Namun, ia lantas mengatakan, bahwa tidak ada yang bisa menjelaskan soal kebenaran tentang apa yang terjadi di Bali. "Sangat menarik, dan seseorang perlu pergi ke sana dan melakukan penelitian karena itu dapat membantu kami menemukan jawaban untuk menghentikan Covid-19," katanya.
Ahli epidemiologi lainnya, Dr Dicky Budiman, juga percaya bahwa jumlah sebenarnya dari kasus Covid-19 di Bali jauh lebih tinggi daripada perhitungan resmi. Dokter Dicky telah membantu merumuskan strategi manajemen pandemi di Kementerian Kesehatan selama 20 tahun.
Ia mengatakan, penyebaran itu tidak terdeteksi karena kurangnya tes yang dilakukan dan pelaporan, yang disebabkan oleh norma-norma budaya yang mendorong penyembuhan tradisional di rumah. Dia juga menyebut banyak infeksi Covid-19 di Bali yang keliru didiagnosis sebagai kasus demam berdarah.
"Ada jumlah kasus demam berdarah yang luar biasa tinggi di Bali saat ini, lebih dari 2.100 kasus, dan saya percaya itu karena tes untuk demam berdarah lebih mudah, lebih murah dan lebih cepat daripada tes untuk Covid-19," kata Dokter Dicky.
Teori ini kemudian dikuatkan oleh penelitian terbaru dalam jurnal medis The Lancet. Penelitian itu menggambarkan dua pasien di Singapura yang menerima hasil positif yang salah untuk demam berdarah dan kemudian dikonfirmasi terinfeksi Covid-19.