Ahad 03 May 2020 14:16 WIB

Membaca atau Mati

Selalu ada harga yang harus dibayar dari kondisi ketidaktahuan.

Membaca dengan tertib sebagai bentuk disiplik (ilustrasi).
Foto:

Kebiasaan Membaca

Doktrin retoris untuk melecut orang Indonesia agar sadar baca menurut saya penting. Tapi juga keliru jika kita hanya berhenti di ranah doktrinal. Doktrin hanya berfungsi sebagai efek kejut, untuk membangun kesadaran dan motivasi. Ia hanya merupakan langkah awal.

Dalam proses implementasinya, pengajaran keterampilan (skill) membaca harus dilakukan dengan menciptakan kebiasaan (habit). Para orang tua harus membangun kebiasaan membaca di rumah bagi anak-anak mereka secara programatik, tidak asal-asalan, dan tidak cukup hanya mengalir (go with the flow). Kebiasaan itu harus terprogram dengan baik dan disesuaikan dengan tingkat usia dan pendidikan mereka.

Dalam membangun kebiasaan membaca, Harmer (2001) menyebutkan enam prinsip. Pertama, anak harus dibiasakan untuk aktif dan berinisiatif sendiri dalam membaca.

Kedua, perlu diciptakan kondisi agar anak terkoneksi dengan bahan yang dibaca. Ketiga, anak harus didorong untuk berani merespon atau mengomentari apa yang dibaca.

Keempat, anak perlu didorong untuk belajar memprediksi bahan bacaan. Kelima, menjadikan apa yang dibaca sesuai dengan kebutuhan nyata. Keenam, membangun kebiasaan untuk mendiskusikan apa yang dibaca.

Bagi anak-anak yang sudah mulai dewasa, dengan menggunakan pendapat Duke dan Pearson (2005), mereka perlu dibiasakan untuk membuat ringkasan (summary) dari sumber yang dibacanya, mengajak mereka untuk berfikir kritis dengan mempertanyakan apa yang dibaca (questioning), serta melakukan inferring, yakni menggunakan pengetahuan mereka sendiri berdasarkan informasi yang dibaca untuk menarik kesimpulan mereka sendiri.

Kebiasaan membaca semacam ini diharapkan dapat menghasilkan insan-insan generasi baru yang cerdas dan berwawasan luas, sehingga nantinya mampu membaca dan memahami tren perubahan zaman. Dalam kondisi krisis seperti hari ini, kemampuan tersebut sangat diperlukan, bukan hanya untuk mempertahankan hidup selama krisis (during the crisis), namun juga untuk mereparasi masa depan setelah krisis (post crisis). Pada muaranya semoga membawa keselamatan dunia dan akhirat dalam ridha Allah swt.

*) Penulis adalah Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Mahasiswa S-3 Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement