Sabtu 02 May 2020 12:08 WIB
Ulama

Ki Hajar dan Ulama: Eksistensi Pesantren Dalam Pendidikan

Eksistensi Pesantren Dalam Pendidikan Indonesia

Pendidikan pesantren yang berlangsung secara beradab-abad dengan mandiri.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tak berjarak dengan masyarakat, bahkan menjadi bagian darinya. Dakwah pesantren dirasakan masyarakat sekitar. Ia juga menjadi akses bagi segala lapis masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.

Banyak pesantren yang bahkan mampu menghidupi diri sendiri, dan membuat santri hidup mandiri. Kebebasan (kemandirian) dari keterikatan karena persoalan finansial ini juga ditekankan Ki Hajar ketika mengelola Taman Siswa.

Pesantren bukan saja menjadi penuntun dan pelindung bagi masyarakat, tetapi juga menjadi benteng rakyat Indonesia, dengan menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme. Pesantren bukan saja menjadi pelindung fisik masyarakat, tetapi juga benteng akidah umat. Sistem pendidikan di pesantren menanamkan nilai-nilai akidah yang kuat, sehingga penjajahan mental dapat dihindari.

"Pesantren merupakan satu 'kubu pertahanan mental', terhadap kolonial Belanda, 'kubu pertahanan mental' bukan semata2 terhadap sendjatanja jang fisik, akan tetapi terhadap sendjata jang bersifat mental pula, dari politik2 imperialisme/kolonialisme Belanda jang sangat litjin itu. Satu politik Imperialis/Kolonialis jang dipelopori oleh Prof Snouck Hurgronje, jang garis besarnja ialah, meassimilasikan bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda, mengasosiasikan kedua bangsa itu di dalam melakukan satu approach jang bersifat kebudajaan. Dengan men-deislamisasikan pemuda2 Islam di Indonesia, bukan mengkristenkan; mereka itu lambat-laun mentjabut dari djiwa pemuda2 jang beragama Islam bangsa Indonesia itu keimanan kepada agamanja, ketjintaaanja kepada adat istiadat keagamaan jang ada didesa, dikampung, dan dirumah tangganja sendiri. Menjabut mereka itu dari urat2 kebudajaannja sendiri, membawa mereka kepada alam berfikir Barat, jang dengan demikian ditjiptakanlah satu golongan, jang akan dapat mendjamin kolonialisme Belanda di Indonesia ini." (M Natsir: 1969).

Keunggulan pesantren ini adalah dapat berdiri di atas akar yang kokoh. Alih-alih sekadar mengejar permintaan industri atau bentuk pencapaian materi lainnya, pesantren memiliki visi lebih mendalam. Ulama besar Indonesia yang kiprahnya tak bisa dilepaskan dari kehadiran pesantren di Tanah Air, KH Hasyim Asy'ari, menyoroti peran kiai sebagai figur sentral.

Dalam karyanya, Adabul Alim Wa Al-Muta'alim, kitab yang berisi adab antara pengajar (ulama) dan yang diajar, para ulama adalah, "...yang senantiasa mengamalkan ilmunya dengan landasan ketakwaan kepada Allah, mengharap ridha-Nya, serta demi mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya."

Ia mengingatkan para alim (ulama) untuk senantiasa takut kepada murka atau siksa Allah dalam setiap gerak, diam, perkataan, dan perbuatan. Menurutnya, "Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat seorang alim pada hakikatnya adalah orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan dan hikmah. Maka meninggalkannya berarti suatu pengkhianatan atas amanat yang telah dipercayakan kepadanya itu." (KH Hasyim Asy'ari: 2007).

KH Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy'ari, juga menegaskan pandangannya terhadap pendidikan. Pentingnya ketakwaan menjadi poros utama pendidikan. Pendidikan yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama adalah mustahil.

Menurut beliau, "Ilmu pengetahuan dan takwa dalam pandangan Islam tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup lengkap. Bahkan Islam memandang lebih condong pada takwa daripada kepada ilmu. Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan takwa sebagai isi hati." (KH Wahid Hasyim: 1985).

Eksistensi pendidikan di pesantren selama berabad-abad telah mengajarkan kita untuk kembali merenungkan esensi pendidikan. Pendidikan kita saat ini tak lagi berkaitan dengan upaya pengembangan intelektualitas, kebijaksanaan, dan moralitas, tapi lebih mempersiapkan manusia menjadi komoditas yang siap memanifestasikan diri melalui image cermin sistem ekonomi, yang siap masuk ke sistem kekuasaan kapital serta sistem perubahan abadi gaya dan gaya hidup. (Yasraf Amir Piliang: 1998).

Kebendaan telah begitu menyedot perhatian sehingga kita keliru menata pendidikan. Demi melayani kepentingan kapital dan industri, kita terlampau menaruh perhatian pada materi semata.

Pendidikan telah kita ceraikan dari nilai-nilai agama dan kepedulian kepada lingkungan sekitar. Pendidikan kita telah menjadi sekadar, mengutip istilah Ki Hajar Dewantara, 'dibayar dan dibeli'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement