REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana meminta, pemerintah harus bisa menertibkan pertambangan rakyat yang berkedok. Pasalnya, tak sedikit pertambangan yang katanya pertambangan rakyat adalah pertambangan yang dimiliki asing.
Dia mengatakan, perlu ada aturan yang ketat untuk bisa mengawasi hal ini. Sebab, banyak potensi penyalahgunaan yang bisa terjadi, seperti adanya oknum yang merusak lingkungan, penambang ilegal hingga oknum korporasi yang menyamar menjadi rakyat.
"Dalam pertambangan rakyat ini, jangan sampai ada kedok rakyat, tapi ternyata orang yang lebih besar di belakangnya," ujar Hikmahanto, Rabu (29/4).
Hikmahanto juga menyarankan agar pemerintah bisa menyusun aturan pengolahan dan pemurnian tambang oleh rakyat. Jadi, rakyat tidak hanya diizinkan menambang saja, tapi diberikan pedoman pengetahuan bagaimana mengelola dan memurnikan hasil tambang tersebut.
"Kalau bisa ada aturan pemberdayaan rakyat dalam menambang supaya nggak hanya menambang aja, tapi mereka juga memiliki keterampilan mengolah dan memurnikan," kata Hikmahanto.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, mitigasi yang telah disiapkan pemerintah untuk menangkal aksi nakal oknum-oknum yang menggunakan topeng pertambangan rakyat dalam menjalankan rencananya.
Misalnya, dalam penambangan rakyat di sisir sungai, ada ketentuan bahwa yang mengeksploitasi memang benar-benar rakyat dan tidak menggunakan alat berat dan tidak berdampak buruk ke lingkungan.
"Kita harus bedakan rakyat mana. Kalau rakyat mampu, mereka nggak ada WPR (wilayah pertambangan rakyat), mereka harus punya izin tambang. Kalau sudah pake alat berat, ya bukan rakyat, bukan di WPR, rakyat 'kan ada keterbatasan modal teknologi gitu. Makanya penyiapannya oleh Pemda dari lahan, eksplorasi sampai studi lingkungan itu harus ketat," kata Bambang.