Rabu 29 Apr 2020 16:28 WIB

Pakar: Upah di Tengah Pandemi Bagai Simalakama

KSPI meminta pemerintah dan pengusaha lebih memperhatikan nasib buruh

Buruh
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Buruh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Ekonom dan pakar Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Budi Satria Isman angkat bicara soal tuntutan pekerja soal upah di tengah pembahasan RUU Cipta Kerja dan situasi Covid-19. Hal ini menyusul desakan buruh yang meminta pemerintah dan perusahaan memerhatikan keselamatan buruh selama masa pandemi Covid-19 pada Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Selasa (28/4).

Menurut Budi, para pekerja dan buruh juga harus paham soal sistem meritokrasi dalam pemberian insentif di perusahaan. "Soal upah ini seperti buah simalakama. Harusnya, para serikat pekerja dan buruh juga paham soal sistem meritokrasi. Apa yang didapat itu harus sesuai dengan jumlah yang bisa diproduksi," kata Budi Satria dalam diskusi dan sesi sharing bertajuk 'Trik Menyelamatkan UMKM Saat Pandemi Covid-19', Rabu (29/4).

Selama ini, menurut Budi, produktivitas buruh di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bahkan di Asia Tenggara. Namun, nilai upah yang didapatkan bahkan bisa berada di angka yang lebih tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan sistem meritokrasi pemberian insentif yang harusnya dipahami oleh para pekerja dan buruh.

"Kami (pelaku usaha) tentu bisa memberikan upah yang tinggi, jika memang produktivitasnya sesuai. Tidak bisa terus menuntut menerima insentif tinggi, sementara produktivitasnya stagnan. Kalau perusahaan merugi, tentu tidak mungkin ditanggung hanya pemilik perusahaan saja," kata Budi Satria.

Kondisi yang dianggap memberatkan pengusaha, tak terkecuali pengusaha di sektor mikro kecil menengah, sudah berlangsung bertahun-tahun. Serikat pekerja terus menuntut ada kenaikan insentif bagi mereka, sementara kemampuan produksinya tidak ada kenaikan signifikan.

"Ini sangat tidak ideal bagi kondisi bisnis kita, apalagi untuk sektor UMKM. Tidak bisa memperlakukan UMKM seperti bisnis besar yang harus terus mengikuti UMK yang juga terus dituntut naik oleh serikat pekerja," kata mantan direktur di Coca Cola Amatil ini.

Menurutnya, memang diperlukan regulasi yang memberikan titik keseimbangan antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan juga target pemerintah. Hal ini juga demi menjaga kepastian iklim bisnis dan investasi pasca Covid-19 yang belum bisa diprediksi.

Sebelumnya, buruh melalui Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah dan pengusaha lebih memperhatikan nasib buruh yang tidak jelas di tengah pandemi Covid-19. "KSPI sudah ingatkan untuk memerhatikan isu terancamnya nyawa buruh dan pemutusan hubungan kerja pada pemerintah dan DPR sejak dua bulan lalu terkait situasi COVID-19 ini," kata Presiden KSPI, Said Iqbal, kemarin.

Ia mencontohkan, satu perusahaan di Tangerang baru meliburkan pekerja setelah ada dua karyawan yang positif Covid-19 dan meninggal dunia. Akibatnya, seluruh karyawan perusahaan yang jumlahnya sekitar 6.000 kemudian masuk dalam daftar orang dalam pemantauan (ODP) terkait penularan virus corona.

Mestinya, ia mengatakan, perusahaan-perusahaan sejak awal menyiapkan langkah untuk menghadapi pandemi seperti meliburkan karyawan secara bergilir untuk mengurangi risiko penularan virus corona. Kenyataannya, ia melanjutkan, di daerah-daerah yang sudah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengendalikan penularan Covid-19 pun pabrik-pabrik tetap beroperasi.

"Jangan PSBB setengah hati, di mana perusahaan boleh beroperasi, pasar boleh, sedangkan rumah ibadah dan buruh kecil dilarang. Padahal lokasi yang paling ramai itu ialah pasar dan pabrik," katanya.

Sesuai ketentuan, pemerintah daerah yang menerapkan PSBB mengizinkan instansi, lembaga, dan badan usaha yang mengurusi penanganan Covid-19, pelayanan kesehatan, jasa kebersihan,dan pemenuhan kebutuhan pokok tetap beroperasi karena layanan mereka memang dibutuhkan warga. Said Iqbal mengatakan seharusnya selama PSBB seluruh pabrik meliburkan pekerja dengan tetap memberikan upah dan tunjangan hari raya. "Terutama untuk perusahaan menengah ke atas. Ini penting agar tingkat konsumsi tidak jatuh yang pada akhirnya malah berdampak pula pada kesehatan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement