Selasa 28 Apr 2020 04:19 WIB

Nasi dan Sensivitas Muslim Terhadap kata Anjing

Anjing merupakan hal yang sensitif bagi masyarakat di negara ini.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh  Ichsan Emrald Alamsyah*)

Awalnya penulis berpikir hanya Islam Indonesia yang sensitif terhadap kata anjing. Hingga kemudian, penulis menonton acara Patriot Act milik komedian asal Amerika Serikat Hasan Minhaj.

Dalam salah satu acaranya, ia pernah mengatakan tahukah anda bagaimana muslim memandang anjing? Ia menyebut "muslim memandang anjing seperti AS memandang muslim (dalam konteks sebagai pengungsi), anda boleh masuk ke rumah kami, tapi tolong jangan dekat-dekat," ujar dia secara implisit dengan menunjukkan tangannya.

Menyaksikan dan mendengar hal tersebut, tampaknya masalah anjing bukan hanya persoalan sensitif bagi muslim Indonesia. Hingga kemudian, dua hari ini muncul kisruh soal Nasi Anjing.

Awal kisruh itu bermula dari warga di sekitar Masjid Babah Alun, Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara menerima bantuan makanan siap santap yang berlogo kepala anjing disertai tulisan 'Nasi Anjing, Nasi Orang Kecil, Bersahabat dengan Nasi Kucing #Jakartatahanbanting'. Makanan itu dikirim oleh komunitas ARK Qahal yang berada di Jakarta Barat.

Tentu saja sebagian umat muslim yang selama ini sensitif terhadap anjing meradang. Anjing, bukanlah binatang yang hilir mudik bebas seperti halnya kucing di tanah air. Bukan artinya umat muslim benci, namun berdasarkan surah nabawiyah  atau hadist, air liur anjing mengandung najis.

Jadi wajar saja kemudian bila warga, minimal yang menerima nasi bungkus mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan-jangan di dalamnya mengandung najis," kalimat barusan bukan tak mungkin masuk dalam pikiran warga, bisa saja kan.

Hal itu ternyata dibantah oleh perwakilan pemberi nasi bungkus itu, tentu dengan jawaban-jawaban yang menurut penulis sangat lucu.

Begini jawabannya, seperti dikutip dari Republika.co.id:

Pihak yang mengaku bertanggung jawab dalam pembagian bantuan makanan itu bernama Andi telah mengklarifikasi alasannya menggunakan nama 'Nasi Anjing'. Dia menyebut, hal itu dilakukan lantaran anjing merupakan hewan yang setia dan porsi yang diberikan lebih banyak dibandingkan nasi kucing yang selama ini sudah banyak dikenal masyarakat.

"Kenapa kita pakai nama nasi anjing? Satu, karena porsinya lebih besar dari nasi kucing. Yang kedua, karena anjing itu salah satu binatang yang setia," kata Andi.

"Jadi kita perlu setia sama Allah yang di atas, setia sama negara, setia sama Pancasila, setia sama UUD 45, khususnya setia sama bangsa ini yang sama-sama kita lagi kesusahan. Jadi kita mau sama-sama saling bantu," sambung dia.

"Semua bahannya halal. Jadi isinya pasti bukan daging anjing. Isinya daging ayam, cumi asin, orek tempe teri, bakso orek, sama sosis orek," ungkapnya.

Oke, bila kita mencerna pada kalimat awal, penulis, warga, muslim lainnya pun merasa pasti sudah cukup. Anjing karena ukurannya lebih besar dari kucing menjadi kata tepat untuk menjelaskan nasi bungkus itu. Namun lucunya, entah panik, ia membandingkan kesetiaan anjing dengan Pancasila dan UUD 45.

Ini menurut penulis lucu, dan bahkan seakan-akan mengajarkan warga untuk setia pada Pancasila. Apakah memang si pengirim tak percaya dengan warga terhadap ke-Pancasila-an mereka? Ataukah si organisasi menjadi kelompok yang paling Pancasila?

Bila kemudian mereka adalah kelompok yang begitu setia terhadap Pancasila, kenapa kemudian mereka tidak sensitif terhadap kata anjing? Padahal bila berkaca pada kasus lain, misalnya, betapa sebuah anjing dan ibu-ibu yang mengamuk bisa menjadi headline di berbagai media online nasional.

Ketika itu, seorang ibu membawa anjing masuk ke dalam masjid Al Munawaroh mencari-cari suaminya. Si Ibu memang dikemudian hari divonis bebas karena mengalami gangguan jiwa, namun seharusnya itu menjadi pelajaran bahwa anjing binatang yang amat sensitif bagi umat Islam.

Lah kok ini kemudian malah dijadikan nama nasi bungkus? Itu dimana sensitivitasnya. Itulah yang kemudian terngiang-ngiang di kepala penulis.

Seperti pada umumnya, kasus ini seperti halnya cerita fiksi berakhir damai dan bahagia.

Akhir ini seperti ucapan, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, ditandai dengan penandatanganan surat damai yang dilakukan oleh perwakilan warga Warakas dan komunitas ARK Qahal, Ahad (26/4). Yusri menyebut, perwakilan komunitas ARK Qahal juga telah mengaku bersalah dan menyampaikan permohonan maaf di hadapan warga.

"Mereka (komunitas ARK Qahal) mengaku tidak ada maksud untuk merendahkan dan menghina pihak manapun dan tidak ada tujuan lain selain hanya sekadar membantu," kata Yusri dalam keterangan tertulisnya.

Yusri menuturkan, warga Warakas awalnya menyayangkan penggunaan logo kepala  anjing itu pada bungkusan makanan. Meski demikian, jelas Yusri, para warga telah menerima permohonan maaf dari perwakilan komunitas ARK Qahal dan berjanji untuk menjaga ketertiban serta kerukunan antar warga.

"Kedua belah pihak sudah menganggap permasalahan ini telah selesai dan tidak ada tuntutan lainnya dikemudian hari baik secara pidana maupun perdata," ujar Yusri.

Ya seperti biasa, warga Indonesia, khususnya yang sering dipertanyakan ke-Pancasila-annya ini memang pemaaf.

 

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement