Ahad 26 Apr 2020 14:42 WIB

Penjaga Rumah Allah: Kerendahan Hati Abdul Muthalib

Abrahah yang hendak menghancurkan Ka'bah dihancurkan Allah.

Kakbah di masa lalu
Foto:

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengutip Muqatil bin Sulaiman yang menyebutkan seorang pemuda dari Quraisy membakar gereja besar Abrahah tersebut yang kemudian memantik eskpedisi besar Abrahah ke Mekkah. Gajah-gajah besar dikerahkan. Meski tak ada yang dapat benar-benar memastikan jumlahnya, pasukan itu memang dikenal dengan Pasukan Gajah sehingga peristiwa besar ini dicatat sejarah sebagai Tahun Gajah.

Bagi Abrahah, tidak ada jalan lain untuk menuntaskan ambisinya, kecuali dengan menghancurkan Ka’bah. Cara paling brutal dan kotor itu adalah peluru terakhirnya.

Abdul Muthallib pun menghadap Abrahah. Ia datang dengan penuh kewibawaan dan wajah tampannya yang membuat Abrahah luluh hatinya.

Abdul Muthallib sama sekali tak menantang Abrahah berjibaku dalam perang. Ia justru hadir dalam kesantunan yang penuh untuk meminta unta-untanya dilepaskan dan dikembalikan. Abrahah terkejut bukan main.

“Apakah engkau berbicara kepadaku hanya untuk persoalan dua ratus ekor unta yang telah kurampas darimu? Sedangkan Engkau meninggalkan rumah Tuhanmu yang merupakan agamamu dan agama nenek moyangmu, padahal aku datang untuk merobohkannya. Mengapa engkau tidak berbicara kepadaku soal rumah itu, Ka’bah-mu". Pancingan Abrahah meleset. Sebaliknya, bagi Abdul Muthallib, ia bukanlah sejatinya pembela rumah Allah.

"Sesungguhnya aku adalah pemilik unta itu,” kata Abdul Muthallib. “Dan sesungguhnya rumah itu telah mempunyai pemiliknya sendiri yang akan membelanya (2).”

Tak ada jawaban yang lebih padat dan menghujam daripada jawaban Abdul Muthallib semacam itu. Tak ada pengakuan yang lebih murni dan tegas daripada pengakuan Abdul Muthallib semacam itu. Tak ada pula kepasrahan yang lebih tunduk dan lapang daripada kepasrahan Abdul Muthallib semacam itu.

Abdul Muthallib telah melampaui garis paling ujung sebagai penjaga rumah Allah. Ia melepas segala atribut personalnya sebagai pemuka kaum, meruntuhkan egonya sebagai orang yang dikenal menjaga rumah Tuhannya.

“Ini adalah Baitullah yang disucikan dan merupakan rumah kekasih-Nya, yaitu Ibrahim,” kata Abdul Muthallib. “Maka jika Dia mempertahankannya, itu adalah sebuah keniscayaan karena ini adalah rumah-Nya yang disucikan. Dan jika Dia membiarkan perkara antara rumah-Nya dan Abrahah, kami pun tak memiliki kemampuan apa pun untuk mempertahankannya.”

Garis lurus yang ditarik Abdul Muthallib adalah garis yang sering luput kita perhatikan. Ilmu kita menggunung, tetapi ego kita pun ikut menumpuk. Pengikut kita mengular dalam barisan panjang, tetapi menjadi pupuk bagi atribut personal yang sering tak sanggup kita lepaskan.

Kita sering merasa lebih besar dari agama yang kita duga tengah kita jaga. Kita sering merasa lebih hebat dari ajaran yang kita sangka telah kita kuasai detailnya dari dasar bumi hingga tinggi angkasa. Kita merasa ababil siap menolong kita dengan hujaman batu panas kepada mereka yang kita anggap lalim, tanpa memiliki pandangan yang cermat untuk mendeklarasikan tiang kebenaran dan kelaliman itu sendiri.

Barangkali kita belum berjumpa Abrahah yang nyata permusuhannya, tetapi kita sering mencari-cari sendiri Abrahah-Abrahah kecil yang kita anggap musuh. Bukan karena ia benar-benar musuh, tetapi karena kita terlampau percaya diri bahwa kita tengah menjadi penjaga rumah Allah.

Kita kerap tidak bermurah hati untuk membagi peran dalam dakwah: siapa melakukan apa, siapa menyiapkan apa, siapa menjaga apa, siapa menumbuhkan apa. Jangan-jangan, kita justru menjadi Abrahah-Abrahah kecil yang menarik marka pembeda antara kelompokku dan kelompok mereka, antara pengajianku dan pengajian mereka, antara organisasiku dan organisasi mereka, antara kepentinganku dan kepentingan mereka, antara afinitas politikku dan afinitas politik mereka.

Jangan sampai kita keliru memberi cap di kening orang lain sebagai pesaing, musuh, hanya karena terlampau geer telah menyandang selendang kebaikan. Kita semestinya kembali dalam perenungan yang mendalam ketika ayat-ayat itu datang ke pangkuan Muhammad ﷺ.

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daunyang dimakan ulat.” (3)

Ayat-ayat itu, yang dengan mudah kita hafal dan rapal, adalah pengingat bagi Quraisy yang telah dijaga oleh Allah dengan penjagaan sempurna, tetapi berbalik badan ketika perintah menyempurnakan diri ke dalam Islam datang menghampiri. Bagi mereka, ketuhanan telah nyata milik Allah, tetapi penghambaan mereka kepada Allah tersangkut beratnya hati melepaskan hasrat dunia dan pengakuan diri yang berlebihan.

CATATAN KAKI:

(1) Lihat catatan ini dalam Sejarah Hidup Muhammad karya M Husin Haikal.

(2) Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Al Fiil 1-5.

(3) Lihat QS Al Fiil 1-5

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement