Rabu 22 Apr 2020 23:17 WIB

Refleksi Hari Bumi

Wabah covid-19 mewarnai kehidupan manusia saat ini.

Rep: Ali Mansur/ Red: Muhammad Hafil
Refleksi Hari Bumi. Foto: Dua ekor burung hinggap di hutan manggrove. (ilustrasi)
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Refleksi Hari Bumi. Foto: Dua ekor burung hinggap di hutan manggrove. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wabah virus Corona atau Covid-19 membuat peringatan Hari Bumi tahun ke-50 ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Wabah yang disinyalir berawal dari Wuhan, China itu membuat seluruh bumi dilanda kepanikan dan sadar sedang hidup dalam fase krisis. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut krisis terjadi lebih besar dibandingkan krisis multidimensi yang disebutnya pada Januari 2020 lalu.

Menurut Koordinator Kampanye Walhi, Edo Rakhman, krisis yang terjadi lebih luas, tidak sekedar di semua lini kehidupan berbagsa dan bernegara. Namun juga mewarnai kehidupan umat di seluruh bumi. "Perlakuan tidak adil segelintir manusia terhadap sesama manusia lain, flora dan fauna mengakibatkan bumi dihantui Covid-19," ujar Edo saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Rabu (22/4).

Baca Juga

Lanjut Edo, virus ini dan 60 persen penyakit menular lainnya merupakan penyakit zoonosis. Penyakit yang berasal dari penularan hewan, di mana lebih dari dua per tiga-nya berasal dari satwa liar. Laporan UNEP pada tahun 2016 menyebutkan aktivitas intensifikasi pertanian, industrialisasi dan perambahan hutan yang mengakibatkan perubahan lingkungan, merupakan penyebab utama kemunculan penyakit zoonosis.

"Digdaya ekonomi kapitalistik tidak dapat dibantah sebagai penyebab utama laju kerusakan bumi. Tidak hanya bersumbangsih pada lahir dan mewabahnya berbagai jenis penyakit, model ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang ini juga mengantar mayoritas penduduk bumi pada ancaman krisis lainnya," tegas Edo.

Kemudian, Edo menyampaikan, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memprediksi pada Mei 2020 dunia akan mengalami ancaman krisis pangan. Tentunya Indonesia mengalami hal serupa. Data BPS memperlihatkan ketergantungan kita pada impor kebutuhan pangan yang sangat tinggi akan berpotensi mengantar Indonesia dalam krisis pangan.

"Kebanggaan sebagai salah satu negara penghasil pulp, kertas, kelapa sawit dan tambang sama sekali tidak berkohesi untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis pangan,"kritik Edo.

Tak hanya itu, Edo menegaskan, penyerahan harga pada pasar pun memutar logika kemanusiaan. Kelangkaan dan harga mahal alat kesehatan menguntungkan segelintir orang. Bahkan lebih 60 persen daratan dikuasai investasi, 75 persen sungai tercemar berat, laju deforestasi yang seiring sejalan dengan peningkatan bencana hidrometeorologis dan berbagai kerusakan lain. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah sama sekali tidak peduli dengan kondisi bumi dan kemanusiaannya.

Selanjutnya, kata Edo, dalam jangka panjang, hadiah krisis iklim tentunya akan menjadi hadiah buruk bagi bumi dan penghuninya. Tidak hanya manusia, keragaman biodiversitas juga diancam oleh laju perubahan iklim. "Komitmen Paris yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 hanya sekedar jadi norma yang sama sekali tidak mengubah cara negara melegalkan praktik ekonomi ekstraktif yang acuh pada aspek sosial dan lingkungan," keluh Edo. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement