Senin 20 Apr 2020 13:00 WIB

Tantangan Korporasi di Tengah Covid-19

Korporasi perlu menjaga kelangsungan usaha di tengah tantangan yang cukup berat.

Tantangan koprorasi di tengah pandemi.
Foto:

Pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai kebijakan dan stimulus ekonomi untuk meminimalisasi dampak Covid-19. Pemerintah telah menerbitkan Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Korona. Pemerintah juga telah mengeluarkan stimulus ekonomi sekitar Rp 405 triliun bagi rumah tangga dan dunia usaha (terutama UMKM) yang terdampak Covid-19.

Pemerintah juga memberikan dukungan kebijakan relak sasi kredit perbankan dan perpajakan selama masa penanggulangan Covid-19. Hanya, kebijakan relaksasi bagi korporasi masih terbatas pada penyelesaian kredit perbankan. Sedangkan, kebutuhan korporasi lainnya, seperti penyediaan valas, masih perlu disiapkan mekanisme penyelesaiannya.

Perlu diketahui, korporasi juga menghadapi tekanan nilai tukar yang cukup dalam. Akhir pekan lalu, nilai tukar masih berada di level Rp 15.503 per dolar AS, masih cukup mahal. Rendahnya nilai tukar rupiah menyebabkan kewajiban pembayaran ULN dan impor menjadi lebih mahal. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, per Februari 2020, ULN korporasi mencapai 204,2 miliar dolar AS atau sekitar 50,11 persen dari total ULN Indonesia, dan tumbuh 5,87 persen (yoy).

BUMN memiliki ULN sebesar 55,41 miliar dolar AS atau sekitar 27,13 persen dari total ULN korporasi. Pertumbuhan ULN BUMN bahkan lebih tinggi, yaitu sebesar 17,09 persen (yoy).

Tingginya ULN tentunya menjadi beban tambahan tersendiri bagi korporasi (termasuk BUMN). Terlebih, bila ternyata jatuh tempo ULN korporasi tersebut bersamaan. Kondisi ini, selain akan menekan nilai tukar rupiah, juga menambah biaya bagi korporasi.

Sebagai informasi, tahun ini terdapat sekitar 48,22 miliar dolar AS atau sekitar 23,61 persen, ULN korporasi yang jatuh tempo. Ketersediaan valas dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang wajar (acceptable) tentunya menjadi hal yang penting bagi korporasi.

Saya mengusulkan beberapa kebijakan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi korporasi tersebut. Pertama, perlu diciptakan terjadinya mekanisme lindung nilai di antara korporasi sendiri (mutual hedging). Yaitu, suatu mekanisme yang memungkinkan bagi korporasi yang memiliki kelebihan valas dapat membantu korporasi lainnya yang memiliki kekurangan valas.

Mekanisme mutual hedging ini, antara lain, dapat diciptakan di antara BUMN. Kementerian BUMN, misalnya, dapat menyinergikan BUMN-nya dalam rangka saling membantu kebutuhan valas di antara BUMN.

Kedua, adanya mekanisme fasilitas penyediaan valas oleh BI dengan biaya yang wajar. Fasilitas valas ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran ULN.

Tentu tidak semua korporasi dapat memperoleh fasilitas ini karena keterbatasan BI dan regulasi. Fasilitas ini diberikan kepada korpo rasi yang memiliki peran strategis dan "sistemis" dalam penyediaan barang dan jasa bagi publik.

Saya berpendapat, PLN dan Pertamina merupakan korporasi yang memenuhi persyaratan ini. Kebijakan yang terkait dengan penyediaan fasilitas valas oleh BI ini dapat menjadi pembahasan bersama antara pemerintah (Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan) dengan BI.

Ketiga, bila skenario yang terburuk terjadi, misal nya, nilai tukar belum dapat dikendalikan, otoritas ekonomi perlu menyiapkan forum yang memungkinkan dilakukan restrukturisasi ULN, sebagaimana dulu pernah dilakukan pada 1998. Data memperlihatkan, ULN korporasi yang berupa perjanjian kredit mencapai sekitar 61 persen dari total ULN korporasi.

Saat ini, perbankan di hampir seluruh dunia melakukan relaksasi terhadap dengan pinjaman debiturnya terkait Covid-19. Artinya, peluang untuk memperoleh relaksasi perbankan luar negeri cukup terbuka. Pemerintah dapat menjadi fasilitator bagi korporasi yang memiliki pinjaman di perbankan luar negeri.

Tantangan yang dihadapi korporasi tahun ini cukup berat. Karena itu, yang terpenting saat ini adalah menjaga kelangsungan usaha, tidak mengalami kebangkrutan, mampu menjaga kesehatan keuangan, serta memiliki kecukupan cash flow.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement