REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghargai hasil catatan dan rekomendasi Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi selama 2019 tidak memberikan efek jera yang nyata. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaga antirasuah berharap agar Mahkamah Agung (MA) menerbitkan pedoman pemidanaan dalam memutus perkara.
“KPK berharap Mahkamah Agung juga dapat menerbitkan pedomaan pemidanaan sebagai standar Majelis Hakim di dalam memutus perkara tindak pidana korupsi,” kata Ali Fikri saat dikonfirmasi, Ahad (19/4) malam.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), potret disparitas pemidanaan masih mewarnai vonis-vonis Pengadilan sepanjang tahun 2019. Hal tersebut terlihat pada perkara-perkara dengan kerugian negara bernilai besar masih kerap divonis ringan oleh majelis Hakim.
Hal ini berbeda dengan perkara lain yang memiliki kerugian negara bernilai kecil namun justru dihukum berat. Tak hanya itu, perkara suap pun menjadi sorotan, dengan karakteristik latar belakang profesi serupa akan tetapi vonis diantara keduanya berbeda jauh.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2019 belum menunjukkan keberpihakan sepenuhnya pada sektor pemberantasan korupsi. Hal ini dikarenakan dalam temuan ICW rata-rata vonis terhadap terdakwa korupsi hanya dua tahun tujuh bulan penjara saja.
Secara spesifik dari 1.125 terdakwa korupsi yang disidangkan, setidaknya 842 orang di antaranya diberikan vonis ringan. Hanya sembilan orang diganjar vonis berat. Padahal regulasi pemberantasan tindak pidana korupsi yang dijadikan dasar pemeriksaan di persidangan memungkinkan untuk menghukum terdakwa sampai pada 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup.
"Potret perbedaan hukuman antar terdakwa dengan klasifikasi perkara yang hampir serupa masih sering terjadi di sepanjang tahun 2019,”kata Kurnia.
"Walaupun secara realita tiap perkara memiliki karakteristik yang berbeda namun disparitas mestinya dapat dikurangi. Contohnya, perkara dengan kerugian negara besar dihukum lebih ringan dibanding perkara dengan kerugian negara yang lebih kecil,” tambahnya.
Oleh karenanya, ICW mendesak Ketua MA, M Syarifuddin agar menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi. Karena, langkah untuk menyusun pedoman pemidanaan amat mendesak untuk segera direalisasikan. “Agar ke depan setiap hakim memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi,” tegas Kurnia.
Selain itu, ICW mendorong agar MA harus segera membenahi sistem elektronik pemantauan masyarakat terhadap putusan-putusan Hakim. Kanal berupa sistem informasi penelurusan perkara sebenarnya sudah cukup baik, akan tetapi permasalahan keterlambatan mengunggah putusan serta minimnya informasi harus ditindaklanjuti secara serius oleh MA.