Ahad 19 Apr 2020 10:28 WIB
Corona

Melintasi Badai Corona bersama Lagu Semusim Erros Djarot

Badai Corona bersama Lagu Semusim Erros Djarot

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Najib Azca, Pakar Konflik Dan Terorisme UGM.

Perjumpaan itu terjadi pada suatu malam di tahun 1991. Meski mendengar lagu-lagu indahnya sejak penghujung 1970an saat masih SD, aku baru berjumpa dan berkenalan dengan sosok Erros Djarot malam itu. Aku masih mahasiswa saat itu dan kami bersua di studio musik kecil di rumahnya di jalan Deplu Raya, Pondok Pinang, Jakarta Selatan.

Kami bertandang ke rumahnya dalam rombongan aktivis mahasiswa yang dipimpin oleh Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. Keponakan Gus Dur itu sedang berkuliah di Universitas Nasional (Unas) dan waktu itu juga menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fisip Unas dan sekaligus Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik se-Indonesia (IMAISPI).

Malam itu imajinasiku tentang sosok Erros sebagai seniman musik-dan-film yang lembut romantis ambyar. Yang kami jumpai malam itu adalah sosok flamboyan berkumis tebal penuh elan sebagai aktivis politik 'kelas berat'. Ia sempat berkisah tentang berbagai pengalamannya sebagai aktivis muda radikal saat berkuliah di Jerman Barat.

Malam itu perbincangan kami tak jauh dari topik ini: pentingnya merawat dan menghidupkan gerakan kritis kaum muda, khususnya mahasiswa. Juga pentingnya memiliki 'media alternatif' di tengah iklim politik yang pengap dan sungup pada waktu itu.

Setahun kemudian, 1992, aku bersama dengan Gus Ipul dan sejumlah teman termasuk Yusuf Arifin, Hendrajit, Zulfikri D. Jacub dan Moh Thoriq, bergabung dengan Erros untuk menerbitkan media 'radikal' Tabloid DeTIK. Erros bertindak sebagai Wakil Pemimpin Redaksi DeTIK di media yang dikomandani oleh Budiono Darsono sebagai Redaktur Pelaksana itu. Tak berumur panjang, DeTIK dibredel oleh rezim otoriter Suharto pada 24 Juni 1994 bersama majalah Tempo dan Editor.

  • Pengamat: Komando Teritorial TNI sudah tidak relevan di era ...
  • Keterangan Foto: DR Najib Azca.

Pergumulanku dengan Erros tidak berakhir bersama pembredelan itu. Aku juga bergabung dalam tabloid Simphoni yang hanya terbit sekali pada akhir 1994 sebelum 'disegel' oleh Menteri Penerangan Harmoko. Aku juga sempat bergabung sebagai staf kreatif di Eka Praya Film bersama dengan sineas Slamet Rahardjo, Christine Hakim dan Gotot Prakoso. Bersama Melanie Morrison, AS Laksana dan Agung Bawantara, kami terlibat dalam pembuatan film semi dokumenter "Sakura di Bumi Nusantara" yang berkisah tentang 50 tahun hubungan Indonesia-Jepang yang diputar di TV NHK persis 17 Agustus 1995. Erros menjadi sutradara film itu. Belakangan aku juga bergabung dengan tabloid DeTAK yang dipimpin Erros pada 1998-2000 sebelum ciao saat mulai kuliah S2 di Australia pada 2001-2003.

Mengenang itu semua, sebagai bentuk penghormatanku kepada seorang mentor dan sosok budayawan-aktivis multi talenta Erros Djarot, kucoba menyanyikan sebuah lagu dari album legendaris "Badai Pasti Berlalu". Lagu itu berjudul "Semusim", di album aslinya dinyanyikan dengan amat indah oleh Berlian Hutauruk. Entah kenapa aku kesengsem dengan lagu ini dan amat suka menyanyikan dengan iringan gitar akustik. Juga di masa karantina di era corona saat ini. Biar nggak gendeng kita harus pintar-pintar menghibur diri, begitu konon nasehat mbak psikolog.

Tentu ini sekadar tafsir 'pengamen amateur' yang hanya bermodalkan kenekadan secukupnya dan stok rasa malu yang disimpan rapat-rapat di dalam ransel butut. Semoga mas Erros cukup berlapang dada dan tidak menganggapnya sebagai tindakan 'penistaan terhadap lagu' yang perlu dibawa ke meja hijau atau ungu.

Semoga kita semua mampu melewati badai corona dengan elan dan romansa yang diwartakan lagu ini: 

Semusim, bersemi bunga

Dalam kelembutan cakrawala senja

Pagi benderang, jernihnya semesta

Dalam wangi bunga

Senandung insan bercinta...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement