REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) 2019 yang disalurkan tahun ini harus melalui berbagai proses. Salah satunya, melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga menjadi Undang-Undang Pertanggung Jawaban APBN 2019. Oleh karena itu, prosesnya tidak bisa cepat.
Penjelasan tersebut disampaikan Sri setelah adanya permintaan percepatan penyaluran DBH dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam rapat dengan Wakil Presiden Maruf Amin melalui video conference, awal April. Menurut Anies, pemerintah daerah sangat membutuhkan DBH agar bisa bergerak lebih cepat dalam penanganan Covid-19.
Dengan skema biasanya, Sri menjelaskan, DBH 2019 baru bisa ditransfer pada akhir kuartal ketiga. "Audit BPK biasanya selesai April, lalu disampaikan ke DPR dan kalau sudah jadi Undang-Undang (Re: pertanggungjawaban APBN), baru kita bayarkan. Maka, DBH 2019 dibayarkan Agustus, September," tuturnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (17/4).
Sri memahami permintaan Anies mengingat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jakarta maupun banyak daerah kini sedang menurun seiring dengan kebijakan pembatasan aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19. Hanya saja, ia menekankan, setiap tahun, pemerintah pusat selalu menunggu hasil audit dari BPK sebagai landasan saat mentransfer DBH tahun sebelumnya.
Artinya, untuk mentransfer DBH 2019, Kemenkeu harus menunggu audit laporan keuangan tahun 2019 yang rampung pada pertengahan 2020. Hasil audit tersebut biasanya menunjukkan apakah pemerintah pusat ada kurang bayar atau tidak.
Tetapi, Sri menjelaskan, pemerintah pusat sudah memformulasikan regulasi untuk mempercepat pembayaran DBH 2019 menjadi bulan ini. Percepatan dilakukan karena banyak pemerintah daerah yang sudah urgent membutuhkannya untuk penanganan Covid-19. "Teknisnya memang dibayarkan setelah audit BPK, tapi karena sekarang urgent, maka kami putuskan 50 persen sambil menunggu audit BPK," ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Sri berharap, percepatan penyaluran DBH dapat membantu kepala daerah mengatur arus keuangan mereka, terutama dalam menangani Covid-19 di wilayah masing-masing.
Sembari menunggu, Sri meminta Anies ataupun pimpinan daerah lain untuk memanfaatkan pos-pos belanja dengan anggaran besar milik pemerintah daerah yang belum direaloaksikan. Ia memberikan contoh, belanja pegawai di DKI Jakarta yang besarnya hampir Rp 25 triliun, sementara belanja barang hingga Rp 24 triliun.
"Saya tahu, mereka bisa realokasi, refocussing sambil kita percepat pembayaran DBH," kata Sri.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti mengatakan, setelah separuh dibayarkan pada April, tahap berikutnya akan dilakukan pada pertengahan tahun. "Setiap triwulan ada pembayaran. Jumlahnya, kalau DKI meminta Rp 5,1 triliun dan itu akan dibayarkan setengahnya di April," ucapnya.
Sebelumnya, Anies berharap Kementerian Keuangan segera mengirimkan DBH untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp5,1 triliun. Anies mengatakan dana bagi hasil itu akan digunakan untuk anggaran penanganan Covid-19 di Ibu Kota.
"Piutang Kemenkeu kepada Jakarta, semula nilainya Rp6,4 triliun, tapi kemudian ada beberapa penyesuaian dan berubah menjadi Rp5,1 triliun, kemudian ada dana bagi hasil tahun ini di kuartal kedua sebesar Rp2,4 triliun, kami berharap itu bisa segera dicairkan," kata Anies dalam rapat telekonferensi bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Jakarta, Kamis (2/4).