Kamis 16 Apr 2020 15:36 WIB

Tren Perlambatan Kasus Baru Covid-19, Akankah Berlanjut?

WHO mencatat kasus baru Covid-19 selama lima hari terakhir mengalami penurunan.

Seorang pemilih yang berada di bawah isolasi karena gejala Covid-19 menunggu untuk memilih di tempat pemungutan suara di Seoul, Korea Selatan, Rabu (15/4). Kasus baru Covid-19 di dunia mengalami perlambatan seperti dilaporkan WHO. (ilustrasi)
Foto: EPA-EFE/JEON HEON-KYUN
Seorang pemilih yang berada di bawah isolasi karena gejala Covid-19 menunggu untuk memilih di tempat pemungutan suara di Seoul, Korea Selatan, Rabu (15/4). Kasus baru Covid-19 di dunia mengalami perlambatan seperti dilaporkan WHO. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Kamran Dikrama

Tren perlambatan kasus baru Covid-19 di dunia disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam kesimpulannya, WHO mencatat kasus baru Covid-19 selama lima hari terakhir yang menurun dari penambahan kasus tertingginya secara global pada 11 April 2020.

Baca Juga

Berdasarkan laporan situasi harian WHO terkait Covid-19 yang dikutip pada laman resminya, Kamis (16/4), jumlah penambahan kasus baru secara global sejak 11 April hingga 15 April adalah 89.657 kasus, 85.679 kasus, 76.498 kasus, 71.779 kasus dan 70.082 kasus.

Jumlah penambahan kasus baru Covid-19 secara global paling tinggi terjadi pada 11 April dengan jumlah 89.657 kasus baru. Kasus baru Covid-19 secara global per harinya berada di atas 80 ribu kasus untuk pertama kalinya pada 5 April 2020 dengan 82.061 kasus. Angka tersebut bersifat fluktuatif antara 80 ribu dan 70 ribu hingga mencatatkan kasus terbanyaknya pada 11 April.

Sebelumnya, pelambatan kasus baru Covid-19 ini juga pernah terjadi dua kali. Yaitu, pada 31 Maret saat kasus baru secara global tertahan di sekitar 60 ribu kasus per hari dan pada 23 Maret kasus baru berada di kisaran 40 ribu per hari.

Jumlah penambahan kasus baru secara global sempat melambat dalam tiga hari sejak 29 Maret hingga 31 Maret, yaitu 63.159 kasus, 58.411 kasus dan 57.610 kasus. Namun pada 1 April kasus kembali melonjak menjadi 72.736 kasus.

Pelambatan kasus juga pernah terjadi pada 23 Maret sampai 25 Maret, yaitu 40.788 kasus, 39.825 kasus dan 40.712 kasus. Namun, pelambatan pertumbuhan jumlah kasus tersebut hanya bertahan selama tiga hari yang kemudian kasus baru kembali melonjak menjadi 49.219 kasus pada 26 Maret.

Hingga kini, Amerika Serikat (AS) adalah negara dengan kasus Covid-19 terbanyak, yaitu 578.268 kasus dengan 23.476 meninggal dunia. Kasus Covid-19 terbanyak kedua adalah Spanyol (172.541), Italia (162.488), Jerman (127.584), Prancis (102.533), Inggris (93.877) dan China dengan 83.745 kasus.

China yang merupakan sumber penularan pertama virus dan sempat menjadi negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia kini menjadi di urutan ketujuh dengan penambah 49 kasus per hari kemarin. China mencatat total 3.352 jiwa meninggal dunia dan penambahan 1 korban jiwa meninggal dunia dalam 24 jam terakhir.

China, bisa menekan angka kematian hingga di bawah 4 jiwa per harinya dalam 10 hari terakhir. Tiga hari di antaranya tidak mencatatkan penambahan angka kematian.

Masih terlalu dini untuk meyakini bahwa tren perlambatankasus baru Covid-19 di dunia akan terus berlanjut. Perkembangan dalam beberapa hari mendatang akan menjadi jawaban faktual atas pertanyaan tersebut.

Sejak wabah ini merebak, angka-angka keterjangkitannya sering fluktuatif. Apalagi, beberapa negara masih melaporkan kenaikan jumlah kasus. Di samping itu adanya kasus baru di negara yang semula telah mampu mengendalikannya.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, proses penelitian dan pengujian vaksin untuk Covid-19 terus berlangsung. Ia menyebut terdapat puluhan kandidat vaksin.

"Tiga vaksin telah memulai uji klinis, lebih dari 70 lainnya sedang dalam pengembangan. Kami bekerja dengan para untuk mempercepat pengembangan, produksi, dan distribusi vaksin," ujar Ghebreyesus pada Rabu (15/4), dikutip laman UN News.

Penelitian obat-obatan untuk menangani pasien Covid-19 juga terus berlanjut. Menurut Ghebreyesus sejauh ini lebih dari 90 negara telah bergabung dan menyatakan minatnya pada inisiatif untuk membandingkan efektivitas empat pilihan pengobatan dengan lebih 900 pasien terdaftar.

WHO pun telah mengumpulkan kelompok dokter untuk mempelajari dampak kortikosteroid dan obat anti-inflamasi lainnya pada hasil pengobatan. Ghebreyesus mengungkapkan, secara khusus WHO melihat penggunaan oksigen dan strategi ventilasi saat menangani pasien Covid-19.

"Setiap intervensi yang mengurangi kebutuhan ventilasi dan meningkatkan hasil bagi pasien yang sakit kritis adalah penting, terutama di rangkaian sumber daya rendah, untuk menyelamatkan nyawa," kata Ghebreyesus.

Kasus di Indonesia

Di Indonesia, sejak diumumkan pertama kali pada 2 Maret, kasus Covid-19 masih mengalami tren kenaikan. Per 15 April tercatat sebanyak 5.136 kasus atau bertambah 297 kasus dibanding sehari sebelumnya.

Sebanyak 446 pasien yang dirawat dinyatakan telah pulih, sementara 469 jiwa meninggal dunia. Berbagai pihak terkait sedang bekerja keras untuk mengendalikan.

Kenaikan jumlah kasus masih terjadi di Jakarta dan daerah penyangga. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi DKI Jakarta mencatat hingga Rabu 15 April 2020, terdapat 2.447 orang di ibu kota telah dinyatakan positif terjangkit virus corona. Dari jumlah itu 164 orang di antaranya dinyatakan sembuh.

Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) diharapkan mampu menurunkan penyebaran pagebluk ini secepatnya. Namun, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) dr Pandu Riono mengatakan, penerapan kebijakan PSBB akan lebih efektif apabila dilakukan pemerintah secara nasional atau menyeluruh.

"Tapi intensitas penerapan di lapangan bisa bervariasi," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis (16/4).

Sebagai contoh daerah yang mungkin jumlah kasus masih kecil atau sama sekali tidak ada, maka penerapan PSBB bisa dilakukan dulu sampai 50 persen pada tahap awal. Kemudian, setelah itu secara berkala dilakukan peningkatan bertahap sehingga upaya pemutusan penularan virus corona penyebab Covid-19 di Tanah Air lebih efektif.

Sebenarnya, kata Pandu, penerapan PSBB tersebut tidak perlu menunggu izin Menteri Kesehatan (Menkes) karena memperlambat proses penanganan di masing-masing daerah.

"PSBB ini tidak usah menunggu izin Menkes, lakukan saja," kata dia.

Apalagi, ujar Pandu, WHO atau badan kesehatan dunia sudah menyatakan Indonesia terburuk di Asia Tenggara. Oleh sebab itu, kebijakan PSBB secara nasional yang diusulkan tersebut, bertujuan memangkas segala birokrasi guna memastikan efektivitas pemutusan mata rantai virus di masyarakat dapat berjalan.

Pelaksanaan dan pedoman PSBB yang diminta oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupa kajian dan data, dinilainya hanya memperlambat penanganan saja.

photo
Menahan Ledakan Covid-19 Lewat PSBB Jawa dan Larangan Mudik - (Republika)

"Orang Kemenkes kan sudah punya data," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement