REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai, benturan antarkesatuan TNI-Polri di Papua memang lebih potensial terjadi. Itu terjadi karena latar belakang wilayah dan medan yang ada di Papua.
"Perbedaan yang membuat benturan antarkesatuan menjadi lebih potensial di Papua karena tingkat stres yang jelas lebih tinggi," kata Khairul melalui pesan singkat, Selasa (14/4).
Khairul menjelaskan, potensi terjadinya bentrokan di Papua lebih tinggi karena mengingat di sana merupakan daerah operasi. Di Papua, kata dia, para aparat harus berhadapan dengan segala ancaman, kondisi sosial, dan tantangan medan yang ada di sana selama bertugas.
"Mengingat Papua adalah daerah operasi dengan segala ancaman, kondisi sosial dan tantangan medannya," ucap dia.
Khairul mengatakan, kejadian bentrokan TNI-Polri merupakan penyakit kambuhan yang terjadi berulang kali. Menurutnya, upaya mengobati penyakit kambuhan tersebut pun tidak pernah dilakukan dengan baik. Semestinya, kata dia, harus ada komitmen bersama untuk membenahi internal masing-masing instansi.
Menurutnya, para prajurit, baik TNI maupun Polri, memang dicetak untuk bermental juara. Karena itu, kesalahan dan kekalahan adalah hal yang dianggap sangat memalukan.
Dia menyebutkan, kunci untuk membenahi itu semua ialah melakukan pembenahan praktik kepemimpinan, terutama bagi para pimpinan atau perwira di lapangan.
"Merekalah yang mestinya paling dulu menerapkan kedisiplinan, kepatuhan dan kesadaran untuk tidak melakukan tindakan yang memalukan dan merusak nama baik korps, dan ini akan menjadi teladan bagi para personel di bawahnya," tandas Khairul.