Selasa 14 Apr 2020 13:27 WIB

Menolak Pemakaman

Islam mengajarkan menghormati dan menunaikan hak sesama, masih hidup atau sudah wafat

Menolak Pemakaman (ilustrasi)
Foto:

Komunikasi publik

Banyak faktor melatarbelakangi penolakan pemakaman. Kemungkinan kecil karena faktor agama. Yang sangat mungkin karena ketakutan berlebihan terhadap wabah Covid-19. Ketakutan itu karena minimnya edukasi dan komunikasi yang benar.

Selama ini, penjelasan aparat mengenai Covid-19 tidak lengkap dan cenderung menakut-nakuti. Pemerintah selalu update perkembangan Covid-19.

Sayang sekali, yang sering disebut jumlah kasus  yang terus meningkat baik orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) maupun  meninggal dunia. Peningkatan jumlah kasus menimbulkan ketakutan massa.

Ketakutan meningkat menjadi kepanikan. Sebagian masyarakat bahkan paranoid. Pertama, lemahnya soliditas dan solidaritas sosial serta keberagamaan masyarakat. Gejala individualisme dan egoisme semakin meningkat. Ini masalah sosial yang serius.

Kedua, pemberitaan media massa dan medsos yang tak benar. Pemberitaan soal Covid-19 yang mendunia membuat mereka kian takut. Ketakutan memuncak dengan kelangkaan obat, alat pelindung diri, harga masker dan kebutuhan keselamatan diri lainnya mahal.

Kecenderungan self-protection dan self-survival inilah yang membuat masyarakat menjadi rejectionist: menolak sesuatu yang dianggap mengancam dan membahayakan. Ketiga, kurangnya koordinasi aparat dengan tokoh umat. Selama ini, pemerintah terkesan jalan sendiri dan menyelesaikan masalah dengan mengedepankan aspek kesehatan dan ekonomi semata.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Semarang mengatakan, "Seandainya sejak awal kami diajak bicara, penolakan itu tidak akan terjadi." Pernyataan itu menunjukkan minimnya komunikasi dengan ulama.

Karena itu, menghadapi kemungkinan pandemi Covid-19 yang meningkat diperlukan tiga langkah strategis. Pertama, peningkatan kualitas dan intensitas komunikasi antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat termasuk para tokoh agama.

Kedua, kebijakan yang tegas disertai koordinasi antarlembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Publik melihat sinergi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Kesehatan belum baik.

Ketiga, membangun kepercayaan masyarakat dengan penanganan semakin baik, perlindungan keamanan, dan jaminan sosial yang realistis. Masyarakat kian panik dan jenuh dengan retorika.

Mereka yang menolak pemakaman adalah korban komunikasi dan edukasi yang tidak tepat. Kita semua bersedih. Sulit membayangkan bagaimana duka keluarga sang perawat yang pengalamannya ditolak masyarakat. Setelah jasad sang perawat dimakamkan, urusan agama selesai. Insya Allah sang perawat tersenyum bahagia melihat pintu surga terbuka untuknya.

Namun, tugas berat kita belum selesai. Bersama-sama mengobati yang sakit dan mencegah agar wabah tidak menular. Saatnya kita memperbaiki komunikasi dan sinergi agar Covid-19 tidak menjadi pandemi sosial-politik yang merobohkan kehidupan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement