REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia disebut mutlak dan harus mampu punya obat dan vaksin sendiri untuk Covid-19. Kasus di Ciseeng, Kabupaten Bogor menjadi contoh betapa perlunya kecepatan dalam penanganan Covid-19 dalam tes maupun pengobatannya.
Ketua Dewan Pakar PAN, Dradjad Wibowo kasus Ciseeng, Kabupaten Bogor menjadi bukti perlu dan krusialnya tes Covid-19 yang masif dan cepat. Terlambat sebentar saja, begitu banyak orang yang berpotensi tertular Covid-19. "Saya sering sampaikan betapa krusialnya tes covid-19,” kata Dradjad dalam pesan watsappnya kepada republika.co.id, Selasa (11/4).
Salah satu warga Ciseeng meninggal, awalnya diduga jantung. Mungkin karena gejala klinisnya, dokter melakukan tes swab. Pada hari ke-8 setelah pemakaman baru diketahui almarhum positif corona. Padahal pemakaman terlanjur dilakukan tanpa prosedur COVID-19. Keluarga dan tetangga sekampung juga tahlilan. Akibatnya mereka sekarang menjadi ODP.
"Di Ciseeng Bogor yang dekat sekali dengan Jakarta perlu 8 hari. Bagaimana dengan daerah lain yang jauh?” kata Dradjad.
Dari kasus itu, kata Dradjad, hanya karena lambatnya tes, banyak sekali orang yang bisa tertular. Termasuk tentunya dokter, perawat dan tenaga non-medis rumah sakit. "Jadi sekali lagi, tes tes dan tes. Sebanyak mungkin, secepat mungkin,” ungkap ekonomi INDEF ini.
Dengan kinerja tes seperti itu, Dradjad khawatir jumlah pasien COVID-19 di Indonesia bisa banyak sekali. "Kecuali, ada mu’jizat dari Allah, entah melalui panas dan hujan, atau rahasia-Nya yang lain,” ungkapnya.
Repotnya, lanjut Dradjad, kapasitas pelayanan kesehatan kita pun sangat terbatas. Jumlah dan kualitas ruang isolasi, APD, ventilator dan sebagainya terbatas. "Karena itu, sangat mutlak bagi Indonesia untuk punya obat dan vaksin sendiri. Ini harga mati,” kata Dradjad.
Menurutnya, Indonesia tidak bisa mengandalkan vaksin dari negara lain. Jumlah penduduk dunia saat ini hampir 7,8 milyar. Permintaan global terhadap vaksin corona akan berjumlah milyaran.
Negara maju penemu vaksin tentu lebih memrioritaskan warganya. Harganya pun bisa mahal. Padahal minimal 163 juta penduduk Indonesia harus divaksinasi untuk mencapai herd immunity.
"Itu baru vaksin SARS-CoV-2. Dengan kecepatan mutasi berbagai virus corona, bisa jadi diperlukan beberapa jenis vaksin dan obat,” ungkapnya.
Diingatkan Dradjad, saat ini sebagian ilmuwan sudah memikirkan bagaimana lanskap global paska corona atau AC (after coronavirus). Misalnya, otomasi dan robotisasi akan semakin menguasai proses produksi. Pelayanan kesehatan, farmasi, biologi, industri alat kesehatan, asuransi kesehatan dan bisnis terkait lainnya akan semakin penting.
Di sisi lain, lanjut Dradjad, Indonesia kaya biodiversitas sebagai bahan obat dan vaksin. Ini keunggulan komparatif Indonesia, yang selama ini sering dirusak tidak lestari.
Mengenai obat, kata Dradjad, Indonesia sudah ikut Solidarity Trial-nya WHO. Ada 4 obat yang dicoba, yaitu remdesivir, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kaletra (kombinasi lopinavir + ritonavir) dan kaletra + interferon beta.
Indonesia lebih banyak memakai klorokuin. "Saya belum tahu bagaimana efeknya terhadap tingkat fatalitas Covid-19. Jika obat lain ternyata lebih efektif, tentu Indonesia harus impor lagi,” papar ekonom senior tersebut.
Jadi, menurut Dradjad, mempunyai obat dan vaksin sendiri itu sinergi kebijakan kesehatan dan ekonomi yang sangat mendesak. Karena itu Dradjad menyarankan, disediakan dana yang besar bagi penemuan dan produksi obat dan vaksin. "Gerakkan BUMN kesehatan dan farmasi, berbagai riset berbasis biologi, para ilmuwan berbagai cabang biologi, dokter peneliti dan sebagainya,” papar Dradjad.
Jika Indonesia bisa menekan wabah corona ini, apalagi mampu memanfaatkan peluang di balik wabah, menurut Dradjad, kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia akan cepat pulih.