REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Covid-19 semakin merajalela. Hingga Ahad (12/4), Indonesia telah melaporkan 4.241 kasus.
Angka tersebut diprediksi akan terus bertambah. Kandidat Master of Public Health Johns Hopkins School of Public Health, AS, dr Aqsha Azhary Nur, menjelaskan, jika tidak punya intevensi cukup kuat atau tidak ada intervensi sama sekali, maka dua bulan setelah terdeteksi, jumlah orang positif Covid-19 bisa mencapai 2,5 juta jiwa.
"Intervensi yang tidak kuat adalah tidak ada pembatasan sosial, pembatasan fisik, dan tidak meliburkan," ungkap Aqsha yang merupakan anggota Primary Health Care (PHC) Young Leaders Network - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, bila Indonesia melakukan melakukan intervensi ringan atau minimal, maka jumlah kasus yang terjadi di Indonesia akan mencapai 1,7 juta. Contoh intervensi ringan, menurut Aqsha, ialah sekadar adanya imbauan social distancing dan penutupan sekolah.
Sementara itu, bila Indonesia melakukan intervensi sedang, maka kemungkinan orang yang menderita sebanyak 1,3 juta. Aqsha mengungkap, intervensi sedang ditandai dengan adanya imbauan pembatasan fisik dan pembatasan sosial lebih ketat diiringi dengan penutupan fasilitas publik.
Apa cara yang paling optimal untuk mengendalikan penyebaran Covid-19? Aqsha menjelaskan, pembatasan intervensi sangat optimal.
Ketika itu dilakukan, jumlah kasus bisa terkendali di angka 500 ribu. Sementara itu, pada Kamis lalu, angka yang disebut Kemenkes sudah 1.790, maka maksimum akan ada 500 ribu akumulasi jumlah kasus.
"Itu dengan cara betul-betul karantina, betul-betul pembatasan sosial, artinya tidak boleh ada yang keluar rumah, semua fasilitas dimatikan kurang lebih dua sampai tiga minggu ke depan, supaya dapat kurva sangat landai," ujarnya dalam Health Talk Series Prediksi Perkembangan Covid 19 dan Respons Masyarakat Mncegah Penyebaran Bersama-sama, live di Instagram Imani Prokami, belum lama ini.
Aqsha mengungkapkan, intervensi yang sangat kuat dapat membuat angka kejadian lebih minimal. Tapi hal ini amat bergantung pada kapasitas Indonesia dalam melakukan pengecekan.
Menurut Aqsha, andaikan dalam sehari hanya ada 1.000 pengujian, berarti Indonesia tidak akan sampai angka 2,5 juta itu, karena tidak ketahuan. Itu artinya, alat pengecekan Indonesia tidak cukup untuk mencapai ke sana.
"Biasanya orang bilang, diprediksi Indonesia bisa mencapai 2,5 juta kasus, kayaknya mungkin kita hanya bisa mendeteksi sampai 250 ribu kasus dengan optimal, itu kalau kita tidak ada apa-apa,” ujar Aqsha yang pernah menjadi pembicara panel PHC di Majelis Umum PBB ke-74.
Menurut Aqsha, Indonesia sulit sekali melakukan intervensi di level kebijakan dan sosial masyarakat, salah satunya karena jumlah penduduk Indonesia sangat banyak, yakni 260 juta orang. Alhasil, penularan semakin mudah.
"Semakin banyak populasi di suatu negara, bila tidak dikontrol dengan baik, maka akan semakin mudah penularannya dari satu orang ke orang lain," jelas Aqsha yang telah menyelesaikan Southeast Asia Healthcare Leadership Course di Harvard Medical School.
Selain jumlah penduduk, urbanisasi juga menjadi tantangan. Sebanyak 52,9 persen orang di Indonesia tinggal di kota-kota besar.
"Karakter kota-kota besar itu daerah padat yang penduduk, dekat satu orang dengan orang lain dan interaksi satu orang dengan orang lain sangat tinggi, sehingga bila terjadi suatu wabah di sana akan mudah tertular pada orang lain," ujar Aqsha seraya menyebut bahwa selain dua faktor tersebut masih ada faktor lain yang membuat intervensi di Indonesia sulit dilakukan.