Ahad 12 Apr 2020 18:39 WIB

Mas AE dan Agenda Demokratisasi yang Terbajak

Kita kehilangan tokoh gerakan masyarakat sipil yang paling genuine.

AE Priyono
Foto: Twitter AE Priyono (@kalatida)
AE Priyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wiwid Widiyanto*

Kabar Ahad (12/4) siang ini menyentak. Ia datang menyampaikan bahwa Mas Anang Eko Priyono atau Mas AE meninggal dunia. Dia masuk perawatan rumah sakit beberapa hari sebelumnya karena paru-paru, pneumonia, dan diabetes. Setengah tidak percaya karena pada dasarnya Mas AE seorang petarung tangguh. Kali ini yang dilawannya memang bukan gagasan antidemokrasi, tapi rasa sakit. Lalu banjir bertubi-tubi ucapan bela sungkawa memenuhi laman media sosial. Benar, Mas AE telah tiada. Kita berduka.

Kita kehilangan tokoh gerakan masyarakat sipil yang paling genuine. Seorang intelektual yang sepanjang hayat setia berdiri menjaga jarak pada kekuasaan. Banyak karya yang telah dihasilkan Mas AE bersama dengan para intelektual lainnya. 

Suara-suara pelopor demokratisasi sudah ia suarakan semasa bergabung dengan bagian penelitian dan pengembangan Harian Republika pada 1993 hingga 1996. Tulisan dan analisisnya yang dimuat sepanjang periode itu bernas dan terkesan melampaui zamannya.

Pada masa transisi, pasca-reformasi awal tahun 2000-an, Mas AE terlibat dalam proyek pemetaan strategi dan pilihan gerakan pasca-Orde Baru melalui Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) untuk mengisi kekosongan kerangka gerakan masyarakat sipil pada waktu itu.

Salah satu tesis penting yang diyakini menjadi petunjuk jalan bagi sebagian besar aktivis pro-demokrasi untuk terlibat dalam politik elektoral adalah go-politics, konsep dimana mendorong agenda demokratisasi dengan menginjeksi gerakan pembaruan politik melalui membangun koneksi strategis dengan gerakan sosial. Banyak aktivis pun secara terbuka mengikuti pemilu. 

Pada pertengahan hingga akhir dekade 2000-an masih terbuka momentum perbaikan politik dari dalam itu, dari institusi maupun secara regulasi: affirmative action buat perempuan, independensi senator dari parpol, persyaratan mudah bagi pendirian parpol baru dan calon independen untuk menyebut sebagian.

Asumsi dasar go-politics saat itu adalah terpisahnya gerakan sosial dengan gerakan politik yang berakibat pada krisis representasi yang menjangkiti semua institusi demokrasi formal. Kepercayaan kepada parlemen rendah, parpol tidak memiliki basis massa kuat, pemilu hanya sarana pergantian elite, kapasitas dan kinerja para aktor (power holders) pun jauh dari yang diharapkan publik. Ruang partisipasi perlu dibuka lebar, dan aktivis pro-demokrasi mampu mengisi ruang tersebut sebagai agen perubahan (agent of change).

Perubahan sistem politik memang butuh terobosan. Go-politics tadi hanya satu dari sekian cara yang sesungguhnya ditawarkan Mas AE dan rekan-rekannya yang saat itu berpayung di Demos. Perubahan kerangka legal ternyata adalah kunci. Ketika ruang partisipasi bagi para aktivis untuk terlibat dalam politik elektoral, sebagian mencoba bertarung lewat parpol yang eksis, ada juga lewat parpol alternative yang baru, lainnya bertarung lewat jalan senator, maupun kepartaian tingkat lokal di Aceh.

Agaknya demokratisasi di Indonesia yang masih ranum berkembang, pasca-reformasi tampak kuyup dihisap predator kepolitikan kita: oligarki. Konsolidasi elite-oligarki sejak lebih dari 15 tahun silam membajak ide-ide progresif demokrasi seperti yang dibayangkan oleh Mas AE. Kuatnya cengkeraman rente Orde Baru hingga sekarang, pembajakan agenda demokratik paling sistematis lewat kerangka legal, makin membuat tolok ukur demokrasi Indonesia melorot.

Tengok saja bagaimana lembaga pemeringkat demokrasi global (Mas AE selalu mengutip the Economist Intelligence Unit/EIU dan Freedom House), yang menurunkan peringkat Indonesia dalam lima tahun terakhir. Pada situasi itulah Mas AE datang dengan gagasan merancang kembali demokrasi untuk Indonesia, supaya kita semua tidak kehilangan semangat, harapan dan arah panduan perjuangan.

Dia bersama Usman Hamid DKK atas bantuan Yayasan Tifa dan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) menyunting puluhan artikel-artikel para cendekiawan, aktivis dan akademisi dari dalam dan luar negeri untuk membantu kepada kita yang masih percaya pada jalan demokrasi, agar senantiasa tak lelah berjuang, meski medannya itu kini kian terjal. Buku itu setahu saya buku terakhir yang Mas AE bidani, sebelum memilih jalan sunyi membangun gerakan literasi esoterika Islam.

Secara pribadi saya sangat hormat dengan beliau. Kami memang berasal dari kampus yang sama, Universitas Islam Indonesia; dan sama-sama sempat aktif meski beda zaman di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) kampus itu, Muhibbah yang kemudian berganti nama menjadi Himmah. 

Tapi lebih dari itu, saya hormat pada pilihan sikap yang berjarak dengan kekuasaan yang layak direnungkan untuk saat ini, dimana jarak antara penguasa dengan rakyatnya bagai Jawa dan Jazirah Arab, jauh berbentang lautan.

Bagi saya Mas AE seorang yang sangat substantif. Seringkali dia abai untuk urusan-urusan teknikalitas. Baginya, masalah teknis bukan masalah elementer. Dan pada sisi inilah Mas AE sering tertimpa masalah. Ketika membaca pengantar buku Merancang Arah Baru Demokrasi itu, dia menulis soal laptop error yang mengakibatkan banyak data tulisan hilang, saya hanya tertawa dalam hati, "Ah masih saja masalah begini terjadi.." 

Saat ini saya sedang mengerjakan satu tulisan singkat mengenai perubahan orientasi gerakan sosial pada masa Presiden Joko Widodo Jilid 1 dan 2, maka karya-karya Mas AE sengaja saya pilih untuk memberikan bingkai analisis.  Selamat jalan Mas AE, terima kasih atas ilmu pengetahuan kritis yang telah engkau berikan. Rest in Power!

 

*Mantan pemimpin redaksi LPM Himmah UII (2003-2005), sedang Studi Diplomacy di Universitas Paramadina

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement