Sabtu 11 Apr 2020 10:20 WIB

Benarkah Ada 8 Bank Berpotensi Gagal?

LPS memberikan data dan fakta terkait kondisi industri perbankan saat ini

LPS: Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menjelaskan isu 8 bank berpotensi gagal
Foto: Republika
LPS: Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menjelaskan isu 8 bank berpotensi gagal

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Novita Intan, Citra Listya Rini

TIBA-TIBA muncul kabar ada delapan bank mengalami masalah (gagal) di tengah wabah virus corona. Kemungkinan bank gagal ini disebut terjadi jika situasi ekonomi semakin memburuk atau mengalami kontraksi.

Kontraksi ekonomi ini berarti pertumbuhan ekonomi minus alias di bawah nol persen. Skenario kontraksi ini sempat disampaikan beberapa pejabat negara.

Industri perbankan termasuk yang mengalami tekanan hebat dan kuat dari dampak ekonomi wabah virus corona ini. Risiko likuiditas, risiko kredit macet, dan risiko pembiayaan menjadi isu krusial industri perbankan saat ini.

Namun, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjamin secara umum kondisi perbankan masih stabil di tengah penyebaran virus corona. Hal ini terlihat dari beberapa indikator industri perbankan per Februari 2020.

Sekretaris LPS Muhammad Yusron mengatakan pihaknya mengklarifikasi sejumlah pemberitaan yang menyebut delapan bank berpotensi gagal.

“Sehubungan dengan munculnya berita-berita terdapat delapan bank yang berpotensi gagal, kami ingin menegaskan bahwa berita tersebut tidak benar,” katanya dalam keterangan tulis di Jakarta, Jumat (10/4).

photo

Yusron merinci, beberapa indikator kestabilan industri perbankan per Februari 2020, di antaranya, tingkat permodalan perbankan mencapai 22,27 persen dan kondisi likuiditas relatif cukup dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai 91,76 persen. 

“Beberapa bank memiliki LDR lebih rendah, terutama BUKU I dan BUKU II yang berada level 81 persen hingga 82 persen,” ujar Yusron.

Indikator lainnya risiko kredit bermasalah (NPL gross) terpantau stabil level 2,79 persen dengan ROA 2,46 persen. Selain itu, simpanan juga masih menunjukkan pertumbuhan year on year (yoy) sebesar 9,79 persen dan tren rata-rata suku bunga simpanan industri perbankan yang masih turun menjadi 5,50 persen.

“LPS secara berkala membuat skenario yang bertujuan menguji kecukupan dana LPS dalam melaksanakan fungsinya menjamin simpanan nasabah dan resolusi bank,” kata Yusron.

Sementara itu, kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan Februari 2020 bergerak sejalan dengan perkembangan yang terjadi di perekonomian domestik.

Data OJK juga menunjukkan kredit perbankan mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,93% yoy, ditopang oleh kredit investasi yang tetap tumbuh double digit di level 10,29% yoy. Piutang pembiayaan Perusahaan Pembiayaan meningkat 2,82% yoy.

Di tengah pertumbuhan intermediasi lembaga jasa keuangan, profil risiko masih terjaga dengan rasio NPL gross sebesar 2,79% (NPL net: 1,00%) dan Rasio NPF sebesar 2,66%.

Dari sisi penghimpunan dana, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 6,80% yoy, lebih tinggi dari pertumbuhan kredit. Selain itu, sepanjang Februari 2020, industri asuransi berhasil menghimpun premi sebesar Rp46,5 triliun dan tumbuh sebesar 4,73% yoy.

Risiko nilai tukar perbankan berada pada level yang rendah pada Februari 2020, dengan rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebesar 2,35%, jauh di bawah ambang batas ketentuan sebesar 20%.

Likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Liquidity coverage ratio dan rasio alat likuid/non-core deposit masingmasing sebesar 212,30% dan 108,12%, jauh di atas threshold masing-masing sebesar 100% dan 50%.

Permodalan lembaga jasa keuangan terjaga stabil pada level yang tinggi. Capital Adequacy Ratio perbankan sebesar 22,42%.

Pada situasi normal skenario yang digunakan LPS adalah menangani satu bank kecil, satu bank menengah besar, dan lima BPR. Dalam situasi tidak normal, kemampuan pendanaan LPS dewasa ini mampu menangani empat sampai lima bank kecil dan sebagian bank menengah.

Hal pendanaan LPS tidak mencukupi berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b jo Pasal 24 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020, LPS dapat melakukan/menerima penjualan/repo SBN yang dimiliki LPS kepada Bank Indonesia, penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, dan/atau pinjaman kepada pemerintah.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistiran Adhinegara menambahkan, saat ini masalah yang dihadapi industri perbankan terkait penangguhan cicilan kredit. Sebab, teknis di lapangan dengan pernyataan pemerintah banyak yang tidak sinkron.

“Wajar debitur dan manajer bank atau leasing juga kebingungan. Selain itu, dalam kondisi seperti sekarang, harusnya OJK bebaskan semua iuran bagi bank yang tertekan,” ucapnya.

Bhima pun menyoroti beberapa indikator industri perbankan yang harus diwaspadai, seperti penurunan pertumbuhan kredit bergerak sangat cepat. Per Februari 2020, pertumbuhan kredit total tercatat 5,5 persen. Adapun tingkat pertumbuhan kredit konsumsi anjlok cukup dalam sebesar 6,1 persen.

Dari sisi kredit investasi juga mulai melandai ke level 10 persen dan kredit modal kerja turun tajam ke level 2,6 persen secara yoy. Artinya, beragam indikator perbankan tersebut menunjukkan adanya pelemahan tajam dibanding 2019.

Per Februari 2019, pertumbuhan kredit sebesar 12 persen yoy dan kredit investasi kala itu masih cukup positif sebesar 13,4 persen dan kredit konsumsi tumbuh 9,5 persen.

Jika melihat dari sisi perbankan, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk akan merevisi target pertumbuhan kredit yang sebelumnya sebesar delapan persen hingga 10 persen. Adapun revisi tersebut akan masuk ke dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) pada tahun ini.

Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar mengatakan, perseroan akan merevisi kredit seiring dengan kondisi pertumbuhan ekonomi akibat virus korona. “Kalau pertumbuhan kredit tentu kami akan revisi ke depan. Kami melihat kondisi saat ini,” ujarnya. 

BACA JUGA: Kinerja Industri Perbankan dan Keuangan Non-Bank Terjaga

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement