REPUBLIKA.CO.ID, ROTE NDAO— Keputusan rapat kerja dua pimpinan DPRD Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, dengan pihak Pemkab Rote Ndao terkait dana anggaran pencegahan pandemi virus Corona atau Covid-19 dinilai bukan merupakan keputusan DPRD, karena jalurnya melalui rapat kerja, bukan rapat paripurna DPRD.
“Kami sangat keberatan bila mereka menggunakan keputusan yang tidak sesuai mekanisme itu,” kata anggota DPRD Rote Ndao dari Fraksi Hanura, Mus Frans, Rabu (8/4).
Frans mengatakan rapat kerja yang dia maksud adalah rapat yang diadakan dua pimpinan DPRD Rote Ndao bersama sejumlah anggota Dewan dengan pihak Pemkab Rote Ndao di ruang kerja Ketua DPRD Rote Ndao Alfred Saudila pada Jumat (3/4).
Frans kemudian membeberkan kronologis pengesahan APBD Rote Ndao Tahun 2020. Menurut dia, ada peniadaan fungsi budgeting DPRD Kabupaten Rote Ndao pada pembahasan APBD Tahun 2020, karena prosesnya yang berkepanjangan.
“Sesuatu yang DPRD tidak pernah bayangkan. Semua by design agar saran dan koreksi yang kami (DPRD) cermati pada RAPBD 2020 tetap diloloskan oleh Pemkab Rote Ndao. Dengan persetujuan Pemerintah Provinsi dengan produk hukumnya Peraturan Bupati No. 02 Tahun 2020 tentang APBD Tahun 2020, bukan Peraturan Daerah sebagaina lazimnya,” paparnya.
Menurut Frans, ini kali pertama terjadi di Kabupaten Rote Ndao bahwa fungsi budgeting DPRD diambil alih oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Sesuai aturan, menurut dia, Perkada boleh digunakan apabila DPRD dan Bupati terlambat dalam menetapkan APBD.
Sesuai UU No.23 Tahun 2016, kata dia, semua dokumen dalam persidangan jelas bahwa DPRD sudah pada tataran aturan dengan surat klarifikasi kepada Dirjen Otda dan Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Namun, sampai saat ini belum ada keputusan pengenaan sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran atas keterlambatan Penetapan APBD 2020.
Pada 31 Maret 2020, masih menurut Frans, Bupati Rote Ndao mengajukan Surat Permohonan Persetujuan Penggunaan Dana Mendahului dari SiLPA Unaudit Tahun 2019. Kemudian, Ketua DPRD Rote Ndao menyampaikan undangan kepada anggota DPRD pada 3 April 2020 perihal rapat paripurna persetujuan sejumlah anggaran oleh Pemerintah Daerah mendahului Perubahan.
Lantaran kondisi pandemi COVID-19, maka semua kegiatan diliburkan. Sehingga, yang hadir saat itu hanya delapan anggota DPRD, yang terdiri dari Fraksi Nasdem, Fraksi Golkar, dan Frakdsi PDIP. Sesuai mekanisme rapat yang diatur dalam Tatip DPRD, jika belum memenuhi kuorum lebih dari setengah jumlah anggota DPRD, maka pimpinan Dewan dapat secara berturut-turut dua kali menyampaikan undangan lanjutan.
“Namun, mekanisme itu tidak dilakukan pimpinan DPRD, tetapi malah secara senyap dilakukan rapat kerja bersama pemerintah dengan keputusan persetujuan anggaran sebesar Rp 9,6 miliar dari total yang diajukan sebesar Rp 20.297.432.000,” kata Frans.
Itu sebabnya, Frans bersama anggota DPRD lainnya menganggap keputusan yang dihasilkan dalam rapat tesebut sebagai keputusan ilegal. Alasannya, rapat kerja bukan rapat pengambilan keputusan, apalagi terhadap penggunaan dana mendahului Perubahan yang belum mendapat audit dari BPK. “Alasan mereka adalah karena Dana Tanggap Darurat yang mendesak untuk penanganan COVID-19,” katanya.
Sesuai Permendagri No. 33 Tahun 2019, kata Frans, apabila Dana Tanggap Darurat mestinya ada sejumlah anggaran tak terduga yang masuk dalam postur anggaran Perbup No. 02 Tahun 2020. “Silakan digunakan dulu sambil menunggu hasil audit BPK. Mengapa harus buru-buru menggunakan Unaudit?” katanya.