Kamis 09 Apr 2020 04:13 WIB

Meneguhkan MPR (Juga) Sebagai Pengawal & Penafsir Konstitusi

Meneguhkan MPR (Juga) Sebagai Pengawal dan Penafsir Konstitusi

Hidayat Nur Wahid

Sejak 2014, pimpinan MPR telah mendapatkan tugas tersebut, yakni memberikan penjelasan mengenai tafsir konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi, sebagaimana awalnya diatur dlm Pasal 29 huruf f Peraturan MPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR RI. Aturan yang sama juga diatur kembali dalam Pasal 27 huruf g Tatib MPR teranyar, yakni Peraturan MPR RI No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI.  

Sayangnya, ketentuan Tatib MPR ini belum terlaksana secara baik, terutama karena belum masuknya hal tersebut dalam hukum acara persidangan di MK. Karena itu, perlu adanya upaya untuk merevisi UU MK agar meneguhkan kembali peran MPR RI selaku lembaga pembentuk UUD NRI 1945, agar dilibatkan dalam proses pengawalan dan penafsiran dalam kasus riil.

Penjelasan tafsir konstitusi dari pimpinan MPR tentu bukan untuk memaksa agar majelis hakim konstitusi untuk mengikutinya, tetapi bertujuan untuk memberikan bahan pertimbangan bagi majelis hakim dari sumber yg paling otoritatif, yaitu MPR. Selaku pembentuk UUD NRI 1945, sudah sewajarnya (pimpinan) MPR memiliki bahan yang cukup untuk menjelaskan tafsir maksud asli (original intent) suatu ketentuan dalam UUD NRI 1945 yang tentu akan berguna bagi majelis hakim konstitusi dalam memutus perkara judicial review.

Peluang untuk mewujudkan kewajaran ini bisa segera direaliasikan karena Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menetapkan revisi UU MK sebagai RUU prioritas 2020, Usul Inisitiaf DPR RI pada Rapat Paripurna pekan lalu. RUU MK itu akan segera dibahas bersama antara DPR RI dan Pemerintah, serta kemungkinan bisa diselesaikan di masa sidang kali ini.

Pintu masuk ini perlu dibuka selebar-lebarnya, agar tanggung jawab MPR RI selaku lembaga pembentuk UUD NRI 1945 bisa dilaksanakan dengan baik, terutama dalam hal pengawalan dan penafsiran UUD NRI 1945.

Mengukur Beban Kerja

Apabila wacana ini diakomodasi ke revisi UU MK, memang akan ada timbul pertanyaan: Bagaimana sebelas orang pimpinan MPR mengatur beban kerja terkait perkara judicial review yang jumlahnya cukup banyak?

Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu kita juga perlu melihat berapa jumlah perkara judicial review yang diputus MK setiap tahunnya. Pada 2018, setidaknya ada 114 perkara judicial review yang diputus MK, dengan rata-rata 9,5 perkara setiap bulannya (Laporan Tahunan MKRI 2018). Sedangkan, Pada 2017, ada 131 perkara yang telah diputus, dengan rata-rata sekitar 11 perkara per bulan (Laporan Tahunan MK RI 2017). 

Jumlah tersebut tentu tidak terlalu signifkan bagi pimpinan MPR yang berjumlah sebelas orang pimpinan. Apalagi, apabila konsep yang ingin digunakan adalah model seperti advocate general di beberapa negara Eropa, di mana setiap pimpinan MPR bertindak seperti advocate general, yakni tokoh hukum senior yang memberikan opini sebelum majelis hakim memutus perkara (Salmande, 2019). Dengan konsep ini, maka pimpinan MPR dapat bergiliran memberikan tafsir konstitusi suatu ketentuan dalam UUD NRI 1945 yang bisa bersumber dari bahan kajian dari Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian MPR yang sudah berjalan selama ini.

Akhir kata, dari paparan data di atas, menjadj wajar dan rasional apabila melibatkan pimpinan MPR dalam menafsirkan konstitusi dalam perkara judicial review di MK, terutama bila dikaitkan dengan beban kerja dan latarbelakang lembaga MPR dan kewenangannya dlm perubahan/penetapan UUD. Pengalaman para pimpinan MPR dan supporting system yang ada juga memadai.

Lagipula, apabila keterangan DPR dan Pemerintah, 2 lembaga yang tak terhubung dengan pembentukan/perubahan UUD, terkait UU yang diuji sudah masuk ke dalam hukum acara persidangan di MK, lalu mengapa MPR selaku pembentuk UUD NRI 1945 sekaligus pembentuk MK RI tidak diberikan hak legal dan konstitusional untuk menyampaikan tafsir konstitusinya? Momentum perubahan UU tentang MK penting dijadikan sebagai momentum untuk meluruskan mekanisme terkait judicial review di MK dg memberikan hak legal konstitusional MPR itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement