Rabu 08 Apr 2020 17:40 WIB

Sejarah Baru Utang Luar Negeri Indonesia

Pemerintah terbitkan uang luar negeri berbentuk global bond terbesar dan terpanjang.

Utang Baru Indonesia: Pemerintah terbitkan uang luar negeri berbentuk global bond terbesar dan terpanjang dalam sejarah.
Foto: johndillon.ie
Utang Baru Indonesia: Pemerintah terbitkan uang luar negeri berbentuk global bond terbesar dan terpanjang dalam sejarah.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Adinda Pryanka, Lida Puspaningtyas, Elba Damhuri

Wabah virus corona (Covid-19) telah mengubah kondisi maupun lanskap ekonomi global dan nasional. Dampak ekonomi pandemi Covid-19 sudah sangat dirasakan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Dari pemerintah, kinerja BUMN terpengaruh wabah Covid-19 yang berujung pada profit dan dividen. Utang luar negeri bertambah karena pelemahan rupiah atas dolar AS. Defisit naik tinggi dan jaminan sosial menjadi kewajiban yang harus terealisasi.

Sektor industri dan perusahaan juga terkena dampak. Produksi maupun penjualan menurun, pendapatan berkurang, dan beberapa industri sudah melakukan PHK. Hal ini terjadi juga di sektor UMKM.

Masyarakat pun--baik yang kerja tetap maupun kerja harian--ikut terkena dampak. Penghasilan turun dan sekarang mereka berharap pada bantuan pemerintah untuk menutup kebutuhan sehari-hari.

Semua ini butuh biaya besar, yang sebagian besar menjadi tanggung jawab negara. Karena itu, pemerintah memutuskan akan menerbitkan surat utang global (global bond) senilai 4,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 69 triliun dengan kurs 16 ribu per dolar AS.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, hal ini merupakan penerbitan obligasi dolar AS terbesar di dalam sejarah penerbitan obligasi dolar AS oleh Pemerintah Republik Indonesia. Utang baru ini dimaksdukan untuk menjaga pembiayaan sekaligus menambah cadangan devisa bagi Bank Indonesia (BI). 

Salah satu obligasi negara itu ditawarkan dengan tenor 50 tahun atau menjadi yang pertama kali diterbitkan Pemerintah Indonesia. Hal ini juga sejarah baru dalam penerbitan utang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, penerbitan global bond dengan tenor panjang juga menyesuaikan kondisi pasar. “Dengan demikian, kita bisa mendapatkan yield cukup baik,” ujar Sri dalam telekonferensi bersama wartawan, Selasa (7/4).

Obligasi dengan seri RI0470 merupakan bagian dari pembiayaan APBN dan penanganan wabah Covid-19. Berdasarkan data yang disampaikan Sri, surat utang denominasi dolar AS ini diterbitkan dengan nominal 1 miliar dolar AS dengan tingkat imbal hasil atau yield 4,5 persen.

Sri menuturkan, penerbitan obligasi dengan tenor panjang juga menjadi strategi pemerintah untuk mengombinasikan surat utang negara (SUN) domestik yang rata-rata bertenor pendek, yaitu sekitar lima tahun. “Sehingga bisa memberikan jatuh tempo yang lebih seimbang antara beban jangka pendek, menengah, dan panjang,” ujarnya.

Penerbitan global bond dilakukan dalam rangka menjaga pembiayaan secara aman sekaligus menambah aliran devisa masuk ke Indonesia. Selain tenor 50 tahun, pemerintah juga menerbitkan global bond dengan tenor 10,5 tahun (RI1030) dan 30,5 tahun (RI1050) dengan yield masing-masing 3,9 persen dan 4,25 persen. Nominal yang diterbitkan untuk setiap seri sebesar 1,65 miliar dolar AS.

Sri mengungkapkan nilai penerbitan tiga surat utang itu menunjukkan gambaran positif bagi instrumen utang Indonesia di tengah turbulensi pasar keuangan global. “Ini adalah penerbitan terbesar di dalam sejarah penerbitan USD bonds oleh pemerintah,” katanya.

Ekonom Bicara Utang Baru Indonesia

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai keputusan pemerintah mengambil tenor panjang dalam penerbitan obligasi global untuk memberikan daya tarik lebih bagi investor. Piter menyebutkan, pemerintah harus memiliki iming-iming besar agar surat utang bisa laku di pasar. "Istilahnya, dijual obral," ujar Piter.

Piter menyebutkan, pemerintah harus berhati-hati dalam menawarkan global bond ke depannya. Menurut dia, dengan adanya kepanikan akibat wabah Covid-19, risiko meningkat dan harus dibayar dengan imbal hasil tinggi serta dilunasi dalam periode sangat panjang.

Piter menilai pemerintah masih memiliki opsi penerbitan surat berharga negara (SBN) dalam negeri dengan skema quantitative easing atau dibeli oleh Bank Indonesia (BI). Dengan kebijakan ini, Pemerintah Indonesia memiliki risiko lebih rendah karena bisa menawarkan surat utang dalam suku bunga lebih rendah dan tenor lebih pendek.

Piter mengakui Indonesia memang membutuhkan dolar AS untuk memperkuat BI dalam melakukan stabilisasi rupiah. Namun, cadangan devisa Indonesia ditambah dengan pertahanan lini kedua BI saat ini dinilai masih cukup. 

"Makanya, lebih baik fokus ke pembiayaan dalam negeri dengan mengandalkan quantitative easing dari BI," ujarnya.

Langkah Bank Indonesia (BI)

Sementara itu, untuk menjaga likuiditas dolar AS, Bank Indonesia menjalin kerja sama dengan bank sentral AS the Federal Reserve (Fed) untuk melakukan repo line atau repurchased agreementKerja sama yang biasa disebut foreign and international monetary authorities (FIMA) tersebut akan digunakan jika dibutuhkan dalam stabilisasi nilai tukar.

"Kami sudah komunikasi dengan the Fed dan mencapai kesepakatan. The Fed menyediakan repo line yang jumlahnya 60 miliar dolar AS," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Fasilitas itu ditawarkan kepada sejumlah bank sentral di dunia, baik negara maju maupun berkembang. Perry menambahkan, hingga saat ini hanya beberapa negara emerging market yang bekerja sama untuk fasilitas repo line.

Menurut dia, hal ini merupakan salah satu dukungan dan kepercayaan the Fed kepada Indonesia terkait prospek ekonomi. Perry mengatakan, hingga saat ini BI belum berencana menggunakannya, tetapi sudah siap jika memerlukan likuiditas dolar AS.

Saat ini nilai tukar terus menguat ke level Rp 16.125 per dolar AS. Perry mengatakan, sejumlah dari cadangan devisa sudah dialokasikan dalam bentuk likuid sehingga memudahkan intervensi dalam stabilisasi rupiah. 

Peringkat Utang Indonesia

Lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service (Moody’s) menetapkan peringkat utang Baa2 terhadap surat utang Pemerintah Indonesia dengan denominasi dolar AS. Outlook surat utang tersebut diberikan predikat stabil untuk jangka panjang.

Instrumen ini ditujukan untuk keperluan umum, termasuk mendanai sebagian upaya pemulihan dan penanganan dampak virus corona (Covid-19). Namun, Moody’s tidak menjelaskan apakah obligasi itu adalah pandemic bonds yang baru ditawarkan pemerintah atau penerbitan obligasi global biasa yang memang rutin diterbitkan.

Seperti dilansir dalam keterangan resmi Moody’s, Selasa (7/4), surat utang ini telah termasuk dalam program penerbitan obligasi senilai 10 miliar dolar AS yang didaftarkan ke Securities and Exchange Commission (SEC). Pandemic bonds ditawarkan dengan tenor 10 sampai 50 tahun.

Peringkat Baa2 didasari atas kebijakan Pemerintah Indonesia yang menekankan pada stabilitas ekonomi makro untuk menahan goncangan dari dampak Covid-19. Selain itu, peringkat ini juga didukung dengan defisit fiskal yang kecil dan rendahnya rasio utang pemerintah.

"Ukuran besar ekonomi dan prospek pertumbuhan yang sehat serta stabil memberikan dukungan kredit. Tantangan kredit termasuk mobilisasi pendapatan rendah dan ketergantungan pada pendanaan eksternal," tulis Moody’s.

Moody’s menyebutkan, efek Covid-19 pada pasar keuangan Indonesia telah parah. Meski defisit neraca transaksi berjalan dan defisit anggaran rendah, keterjangkauan utang masih lemah dan akan menguji buffer eksternal.

Investasi asing yang cukup besar membuat Indonesia bergantung pada arus modal asing yang kini mengalami tekanan. Hal ini memiliki efek ekonomi secara luas, termasuk ke dunia usaha domestik.

Moody’s menjelaskan, outlook stabil yang disematkan menggambarkan risiko dari peringkat utang yang telah diberikan. Hal ini termasuk risiko dari kondisi politik Indonesia sampai dengan implementasi kebijakan ekonomi, baik secara fiskal maupun regulasi terkait lain.

Jumlah Utang Luar Negeri Indonesia

Hingga akhir Januari 2020, jumlah utang luar negeri Indonesia membengkak menjadi 410,8 miliar dolar AS. Dengan kurs 16 ribu per dolar AS, jumlah ini utang ini menembus angkat Rp 7.000 triliun.

Utang tersebut tumbuh 7,5 persen jika dibandingkan dengan Desember 2019. Utang tersebut tumbuh melambat jika dibandingkan dengan November 2019 yang naik 7,7 persen.

Sektor swasta dan BUMN menyumbang utang sebesar 203 miliar dolar AS. Sementara itu, utang pemerintah dan bank sentral sebesar 207,8 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement