Jumat 03 Apr 2020 08:51 WIB
Corona

Mitigasi Logika Paranoid Publik Hadapi Covid-19

Mengapa histeria dan kepanikan publik terjadi?

Ilsutrasu kepanikan atau histeria massa.
Foto:

Reaksi publik yang panik menghadapi virus tidak hanya terjadi pada saat ini. Sejumlah virus seperti epidemi AIDS di Amerika, sampai Ebola, SARS dan berbagai penyakit yang tidak diketahui sebelumnya, mengarahkan kecenderungan pada respon yang buruk.

Kisah tersebut setidaknya pernah mencoba diulas oleh Michael Crichton, seorang dokter medis dan penulis fiksi ilmiah. Meminjam istilah Nichols, realitas seperti ini bisa disebut dengan bias konfirmasi. Bias konfirmasi terjadi sebagai bentuk sikap yang mempunyai kecondongan untuk menggiring kebenaran hanya atas yang diyakini, kedangkalan akan pemenuhan komprehensivitas informasi, menutup peluang kebenaran akibat terpapar hoaks yang terlanjur jadi mindset publik.

Rekap laporan isu hoaks dari Kominfo per 20 Maret 2020 sudah mencapai angka 286 kasus. Bayangkan ratusan isu ini hadir bersamaan dengan upaya pemerintah dan berbagai pihak lainnya menangani covid-19. Publik seringkali terpapar lebih cepat dengan disinformasi seperti ini.

Akibatnya, alih-alih melawan virus justru yang terjadi malah salah paham yang membuat laju penetrasi virus terus menyebar. Kegagalan menangkap informasi, justru akan menciptakan pola pikir dan pola sikap yang keliru.

Kampanye kewaspadaan hanya akan sia-sia, jika mayoritas logika publik terbangun dari informasi hoaks, dari cara berpikir yang salah. Para pakar tidak banyak mendapatkan panggung, ketika awam membanjiri ruang publik dengan potongan-potongan informasi viral yang justru mengonstruksi pikiran panik publik (sharing tanpa saring). Setiap individu bisa memproduksi informasi, tetapi tidak semuanya bisa memproduksi kebenaran.

Mitigasi Logika Publik: Tidak Perlu Panik, Tapi Tetap Waspada..!

Mitigasi sering dikaitkan dengan kluster istilah penanganan bencana. Jika mengacu pada Pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, “Mitigasi diartikan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana”.

Ingat, ada kata kunci bahwa mitigasi bukan hanya membangun dalam konteks fisik, melainkan terkait aktivitas membangun kesadaran dan meningkatkan kemampuan. Tentu dalam konteks tersebut ada ranah kognitif yang penting untuk menjadi catatan, atau saya memahami upaya membangun kesadaran bersama dengan istilah logika publik. 

Meminjam penjelasan dari US Department of Homeland Security - Federal Emergency Management Agency (FEMA, 2013), “Mitigation is action taken to reduce or eliminate long-term risk to hazards, sementara mengutip dari Richard B. Rood (2007), Mitigation is anticipatory policy. Intinya, mitigasi mengarah pada upaya mengurangi resiko bencana, termasuk juga membuat kebijakan antisipatif.

Ketika mitigasi diarahkan pada tataran membangun kesadaran atau logika publik menghadapi covid-19, saya mengusulkan apa yang disebut oleh Nichols sebagai metakognisi. Metakognisi dipahami sebagai kemampuan untuk menyadari kesalahan, dengan mengambil jarak, melihat apa yang sedang Anda lakukan, lalu menyadari bahwa yang Anda lakukan salah” (Nichols, 2018).

Lebih lanjut, ancaman minimnya metakognisi berakibat pada keosnya ruang publik akibat pertarungan informasi dari pakar dan orang yang tidak paham tanpa ujung. Ambiguitas publik semakin mengkhawatirkan akibat polusi informasi yang justru menjungkirbalikkan fakta.

Saatnya kita kembali ke pokok persoalan. Publik diajak untuk memahami substansi covid-19 dan cara penanganan secara benar dan tuntas. Mereka tidak selayaknya panik, tetapi tetap perlu waspada. Waspada dalam artian tahu langkah-langkah yang mestinya dikerjakan. Sebab, bencana kemanusiaan ini adalah bencana global. Kita bisa belajar dari banyak negara yang sama-sama ingin keluar dari situasi mencekam, namun tetap disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan.

Membangun logika publik yang siap menghadapi situasi krisis seperti ini memang tidak mudah. Perlu menyamakan frekuensi antara pemahaman para pakar dengan orang awam. Jika gagabah, bukan tidak mungkin kita akan menghadapi situasi terburuk yang tidak pernah kita bayangkan.

Namun, tetap tidak perlu panik. Seorang ahli biofisika sekaligus pemenang Nobel dari Stanford, Michael Levitt memberikan prediksi bahwa di negara-negara yang terkena wabah covid-19 akan mereda seperti halnya hasil analisis statistiknya terhadap korban covid-19 di China (LA TIMES, 2020).

Seyogyanya, pemerintah maupun media memberi perhatian lebih untuk menjadi leading sector dalam rangka memitigasi logika publik agar tidak paranoid hadapi covid-19. Sudah selayaknya, kebijakan dari pemerintah maupun berita dari media tidak menyulut kepanikan publik.

Sementara itu, publik sudah sepatutnya dapat bekerjasama mengatasi covid-19, mau mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dan tentunya tidak panik, namun tetap waspada. Publik bertransformasi dari paranoid menjadi public self awarnnes “Kami berkerja untuk kamu, kamu di rumah untuk semua”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement