REPUBLIKA.CO.ID,BANTUL -- Dua orang pasien dalam pengawasan corona virus disease 2019 atau Covid-19 warga Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito Senin (30/3) malam, dan Selasa (31/3) pagi setelah dirujuk dari Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul.
"Kami berupaya mendapat (rumah sakit) rujukan, sampai jam 20.00 WIB baru terkirim dan jam 23.00 WIB dapat kabar duka pasien pertama meninggal dan jam 07.00 pagi tadi kami mendapat berita duka kalau pasien kedua juga meninggal," kata Direktur Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul Dokter Sagiran di Bantul, Selasa (31/3).
Kedua pasien PDP tersebut merupakan warga Bantul, masing-masing berusia 59 tahun dan 48 tahun. Mereka tiba di rumah sakit pada Senin (30/3) sore yang kemudian dicarikan rumah sakit rujukan Covid-19 dan akhirnya diterima RSUP Sardjito setelah ditolak beberapa rumah sakit karena ruangannya penuh.
Menurut dia, pasien berusia 59 tahun saat diterima RS Nur Hidayah mengalami sesak napas berat, demam tinggi dan batuk, dan karena RS ini bukan sebagai rumah sakit rujukan dan tidak memiliki alat pelindung diri memadai, maka pihaknya menghubungi rumah sakit rujukan di wilayah Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.
Sementara itu, pasien berusia 48 tahun yang meninggal pada Selasa (31/3) pagi tersebut memiliki gejala demam tinggi, sesak napas, serta hasil foto rontgen pneumonia. Dan sesuai dengan protokol penanganan kasus Covid-19, ketika ada pasien yang sesak napas berat, demam tinggi, batuk dan flu dianggap sebagai PDP.
"Ini harus menjadi keprihatinan kita bersama, (saat itu) saya sudah mencoba kontak ketua Gugus Tugas di Bantul tapi belum ada jawaban, saya hanya ingin koordinasi, dan ini (pernyataan) bukan pers rilis, karena saya tidak mewakili Gugus Tugas, saya sebagai ketua IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Bantul," katanya.
Sementara itu, terkait penanganan pasien PDP di RS Nur Hidayah yang sempat viral, dia menyampaikan bahwa hal itu bukan berniat untuk membuat gaduh atau cemas masyarakat, namun justru sebagai peringatan dini berbagai pihak apabila ada kasus serupa tiba-tiba terjadi di RS yang bukan rujukan Covid-19.
Dia mengatakan, sebab setiap pasien yang membutuhkan pertolongan, berhak mendapat pelayanan maksimal dari pelayanan kesehatan, apalagi dalam kondisi darurat seperti sekarang ini. Namun diakuinya salah satu kendala yang saat ini dihadapi medis adalah minimnya APD yang dimiliki.
"Tidak ada istilah rumah sakit rujukan atau non rujukan. Mohon maaf, karena istilah itu sebetulnya akan mencederai korps kami. Dan semua dokter yang bertugas melawan dan merawat ini harus dilindungi, ini yang harus dipegang," katanya.
"Jangan lagi mengatakan itu rumah sakit apa, bahkan dalam situasi saat ini seluruh pasien yang datang mencari pertolongan harus ditolong, karena boleh jadi dia sudah sebagai carier atau ODP yang kita tidak tahu, karena banyak orang tidak tunjukkan gejala padahal positif. Jadi semangat bersama kita hadapi Covid-19," katanya.