Selasa 24 Mar 2020 18:00 WIB

Terdampak Corona, Pariwisata Harus Ditopang Dana Talang

Misbakhun dorong pemerintah bantu sektor pariwisata bayar gaji

Misbakhun
Foto: istimewa
Misbakhun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah diminta segera mengambil kebijakan afirmatif demi melindungi kegiatan perekonomian dari imbas pandemi virus corona (COVID-19). Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun mengusulkan agar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyediakan semacam bail-out bagi industri pariwisata nasional.

 

"Saran saya, harus ada bail-out oleh negara di sektor pariwisata sebagai insentif. Misalnya 25-35 persen okupansi hotel dibeli oleh negara selama tiga bulan," kata Misbakhun, Senin (23/3).

 

Wakil rakyat dari daerah pemilihan (Dapil) II Jawa Timur itu menuturkan, sektor pariwisata merupakan tumpuan masa depan ekonomi domestik Indonesia. Menurut dia, pariwisata adalah titik utama terbangunnya industri kecil ekonomi kreatif lokal. 

 

Namun, kini pariwisata lesu akibat persebaran COVID-19. “Wabah corona saat ini telah secara nyata menghantam sektor pariwisata yang sudah established (mapan) sekalipun seperti di Bali, maka pemerintah harus turun tangan menyelamatkannya,” ujarnya. 

 

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menambahkan, jika sektor pariwisata yang baru berkembang diterpa pelemahan ekonomi akibat COVID-19, investasi bidang turisme pun akan mandek. Sebab, bisa jadi investor pariwisata menahan dananya atau bahkan hengkang. 

 

“Jika itu sampai terjadi, untuk recovery dan bangkit butuh waktu lama. Recovery yang terlalu lama membuat para investor ragu untuk comeback," kata dia.

 

Oleh karena itu, Misbakhun mendorong pemerintah melakukan bail-out. Paling tidak dana bail-out itu bisa dimanfaatkan untuk gaji sekaligus jaring pengaman dalam rangka mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan hotel. 

 

"Pemerintah harus turun tangan menyelamatkannya. Tujuan  bailout sektor pariwisata adalah menolong industri untuk membayar kebutuhan dasar mereka saja, yaitu bayar karyawan," ujar dia.

 

Misbakhun mengatakan, pola itu pernah dilakukan Pemerintah AS saat menghadapi krisis ekonomi akibat subprime mortgage pada 2008-2009. Saat itu, pemerintah AS mengeluarkan dana USD 1,2 triliun untuk semua sektor industri. 

 

Kala itu, pemerintahan Presiden George W Bush menalangi perusahaan-perusahaan otomotif AS seperti Ford, General Motor dan Chrysler. Saat itu, siapa saja konsumen yang membeli mobil listrik dan hybrid juga disubsidi secara langsung.

 

“Jadi industri otomotif jalan dan tidak ada PHK, sehingga kelas pekerja di AS tetap memiliki pekerjaan dan mempunyai daya beli yang cukup,” katanya.

 

Terkait bail-out untuk sektor pariwisata ini, menurut Misbakhun, Pemerintah memiliki beberapa sumber dana.

 

Pertama, pemerintah masih mempunyai dana yang memadai dari Sisa Anggaran Tahun Lalu (SAL), akumulasi dari Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SILPA), dan anggaran yang selama ini disisihkan oleh pemerintah sebagai dana abadi (endowment fund) untuk keperluan cadangan. Di luar itu ada dana dari pungutan bea ekspor sawit (lavy) di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dana lingkungan hidup di Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Dana Riset Perguruan Tinggi, serta dana dari  Surat Utang Negara (SUN).

 

"Termasuk dana APBN yang ada BA99 yang selama ini dikelola oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara," ujar Misbakhun.

 

Kedua, bila perlu Pemerintah bisa meminjam sebagian dana milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mencapai lebih Rp 150 triliun sebagai cadangan darurat oleh negara. Menurut Misbakhun, dana di LPS itu sedang tidak digunakan. "Ini untuk keperluan mendadak. Uang tersebut tersedia dan sangat siap untuk dipinjam negara bila perlu,” kata Misbakhun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement