Senin 23 Mar 2020 17:27 WIB

Relevansi Behavioral Economics Bagi Penanganan Covid-19

Covid-19 begitu cepat menular dalam skala eksponensial.

Iman Sugema
Foto:

Banyak sekali bingkai dan sekat rasionalitas yang disuguhkan ke mmasyarakat. Kita sesungguhnya tidak memerlukan beragam bingkai, dan yang kita perlukan dalam waktu dekat ini adalah kesatuan gerakan. Nah untuk itu, teori ekonomi memberi saran agar negara segera melakukan dua hal.

Yang pertama adalah mengidentifikasi bingkai politik, sosial, psikologi, agama, budaya, bahasa dan suku. Yang kedua adalah melakukan sosialisasi bahaya Covid-19 yang selaras dengan setiap bingkai.

Perlu dicatat adalah tidak mungkin untuk menaklukan semua binglai yang membelah bangsa. Yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan bingkai itu untuk menghentikan penyebaran virus. Kuncinya adalah bagaimana kita merumuskan strategi rekayasa sosial untuk masyarakat yang majemuk.

Yang berikutnya adalah teori tentang nudge yang mengatakan orang akan cenderung mengikuti rekayasa arahan. Contoh yang sederhana adalah orang akan cenderung mengantri dengan tertib ketika disediakan garis antrian atau nomor antrean. Hal seperti ini sangat penting dalam penerapan social distancing. 

Contoh kongkritnya adalah pembuatan marka ketika naik lift dan eskalator supaya ada jarak minimal 1 meter antar orang. Tempat duduk di bank dan cafe juga harus dilakukan penjarangan. Intinya di setiap tempat harus diberi tanda atau marka yang jelas untuk menjamin jarak aman. Dengan rekayasa semacam ini masyarakat akan dengan sendirinya faham apa itu social distancing.

Yang terakhir adalah teori mengenai loss aversion yang mengatakan bahwa orang akan cenderung menghindari risiko kerugian. Contoh fatal adalah ketika anak muda di Italia tidak mematuhi himbauan untuk tidak berkeliaran di luar rumah karena narasi yang dikembangkan adalah bahwa virus hanya mengalibatkan kematian bagi para manula.

Di Indonesia juga seperti itu. Sebagai contoh adalah masih ramainya anak muda berkerumun menyantap gultik sambil malam mingguan di Blok M, Jakarta Selatan. Kalau tingkat kepatuhan yang sangat rendah seperti ini, bukan tidak mungkin korban meninggal akan melesat sampai ribuan orang di Jakarta saja.

Intinya, teori tentang loss aversion memberi saran bahwa narasi yang dikembangkan harus memberi penekanan pada risiko yang membuat semua orang ketakutan keluar rumah, termasuk kalangan milenial. Pada kenyataannya, Covid-19 adalah monster yang mematikan. Itulah yang harus disampaikan ke masyarakat. Semoga rakyat faham.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement