Senin 23 Mar 2020 00:06 WIB

DPR Ingatkan Batasan Rahasia Data Pasien Virus Corona

Data pasien dibutuhkan untuk mengetahui gerak dan persebaran virus corona.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Indira Rezkisari
Warga mencuci tangan di tempat cuci tangan di area Alun-Alun Kota Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Ahad (22/3). Pemerintah Kota Bandung memasang tempat cuci tangan di sejumlah tempat keramaian di Kota Bandung guna memudahkan masyarakat untuk mencuci tangan sebagai upaya meminimalisir penyebaran virus Corona (Covid-19). Foto: Abdan Syakura(ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Warga mencuci tangan di tempat cuci tangan di area Alun-Alun Kota Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Ahad (22/3). Pemerintah Kota Bandung memasang tempat cuci tangan di sejumlah tempat keramaian di Kota Bandung guna memudahkan masyarakat untuk mencuci tangan sebagai upaya meminimalisir penyebaran virus Corona (Covid-19). Foto: Abdan Syakura(ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, mengingatkan ketentuan menjaga kerahasiaan pasien telah diatur di dalam undang-undang. Hal itu disampaikan dalam menanggapi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mendorong pemerintah mempertimbangkan ulang tentang kebijakan merahasiakan data penderita pasien positif virus Covid-19.

“Jika ada keinginan untuk membuka data pasien, silakan buka lagi beberapa undang-undang terkait. Baca lagi secara saksama batasan-batasan data pasien yang mungkin bisa dipublikasi ke publik," ujar Saleh, Ahad (22/3).

Baca Juga

Ia menjelaskan, manfaat dan urgensi menjaga kerahasiaan pasien ini pasti telah dipikirkan oleh para pembuat undang-undang. Kerahasiaan medis diatur dalam empat undang-undang (UU), yaitu Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 7 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 38 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Pasal 73 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Pasal 57 ayat (1) UU Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Namun, pada pasal 57 ayat (2), hak atas kerahasiaan itu dikecualikan salah satunya demi kepentingan masyarakat.

Meskipun ada aturan tentang menjaga kerahasiaan data pasien, dalam kondisi-kondisi tertentu sepertinya ada kelonggaran. "Ketentuan kelonggaran seperti itu yang mesti dipelajari. Ahli hukum kesehatan mesti memberikan pendapatnya sehingga dalam bertindak, kita semua tetap dalam koridor hukum yang benar," ujar Saleh.

Selain itu, Pasal 48 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi, “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan."

Selanjutnya, pada Pasal 10 ayat (2) Permenkes 269/2008 disebutkan bahwa informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal untuk kepentingan kesehatan pasien; memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; permintaan dan atau persetujuan pasien sendiri; permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.

"Saya kira UU 48 dan Permenkes 269/2008 memberikan peluang untuk membuka data pasien dengan berbagai ketentuan di atas. Selain itu, demi kepentingan penelitian dan pendidikan, data pasien bisa juga dibuka ke publik," ujar Saleh.

Menurut dia, data pasien dibutuhkan bukan untuk melabelisasi dan menyudutkan pasien. Data itu dibutuhkan agar masyarakat mengetahui gerak dan persebaran virus ini.

“Kalau hanya menyebutkan daerah-daerah tempat pasien tinggal, saya kira tidak masalah. Yang tidak boleh itu jika data lengkap pasien dibuka secara luas ke publik," ujar Saleh.

Sebelumnya, KPI meminta ada keterbukaan terkait identitas penderita virus corona. Hal tersebut diperlukan agar masyarakat waspada dan bisa mengambil langkah antisipasi.

"Oleh karena itu, penyampaian informasi yang akurat menjadi pintu masuk awal dan sangat penting dalam upaya pencegahan agar wabah tidak meluas," ujar Ketua KPI Agung Suprio dalam keterangannya, Sabtu (21/3).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement