REPUBLIKA.CO.ID, Sejumlah pemerintah daerah meliburkan sekolah untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19. Sebagia solusinya, pembelajaran di sekolah diganti dengan pembelajaran dalam jaringan (daring), atau akrab disebut online.
Provinsi yang meliburkan sekolahnya mulai dari Aceh, Jambi, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Rata-rata durasi libur selama dua pekan.
Sayangnya, baru beberapa hari pelaksanaan pembelajaran daring, muncul keluhan dari para wali murid karena ternyata hal itu menambah beban mereka. "Guru lebih banyak kirim tugas pakai WhatsApp (WA), dikerjakan lalu difoto kirim ke guru," keluh Inung, salah seorang wali murid.
Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi pada anaknya dijenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), tetapi juga pada anak keduanya yang duduk di Sekolah Dasar (SD). Cara belajar itu praktis membuat orang tua terbebani, karena untuk menjaga anak agar tidak main di luar saja sudah cukup sulit. Apalagi jika anaknya diberi tugas yang banyak.
Kalaupun ada guru yang melek IT, lanjut dia, misalnya dengan mengerjakan tugas dilayar komputer dan langsung keluar skornya begitu selesai mengerjakan. Tapi kendalanya pada orang tua, yang banyak tidak paham caranya.
"Akhirnya di screenshot (tangkapan layar) terus dikerjakan dengan menggunakan kertas, difoto dan kirim ke gurunya," terang Inung.
Menurut dia, penerapan pembelajaran daring terkendala banyak hal. Baik dari kompetensi gurunya, orang tua, maupun infrastruktur pendukung. Masih banyak orang tua yang tidak mempunyai gawai yang memadai, akibatnya anak kesulitan dalam mengerjakan tugas dari gurunya.
"Belum lagi internetnya. Seharusnya internet digratisin dulu. Kasihan ibu-ibu harus beli kuota melulu demi pembelajaran daring anaknya," pintanya.
Wali murid lainnya, Tety, mengaku pembelajaran daring dengan cara memberi tugas tersebut hanya efektif untuk jenjang SD.
"Untuk SD masih efektif aja sih, belum terlalu ribet. Masih dengan mudah diserap. Apalagi kalau ada emaknya, jadi masih bisa diarahin," kata Tety.
Namun untuk jenjang SMP dan SMA kurang efektif, harus ada penjelasan dari guru mata pelajaran. Untuk mata pelajaran yang bersifat hafalan mungkin tidak menjadi masalah. Akan tetapi, mata pelajaran seperti Matematika, IPA, harus ada penjelasan dari gurunya langsung.
"Kalau cuma sekadar tugas begitu, dikerjakan nanti-nanti. Apalagi dikumpulkan pas nanti masuk," terang Tety.
Selama belajar di rumah, kata Tety, anak-anak lebih banyak 'santai' dengan main gawai dibandingkan belajar. Berbeda jika anak-anak sekolah. Karena, dituntut untuk memerhatikan gurunya saat memberikan pelajaran.
"Anak-anak juga bisa bertanya jika ada yang kurang paham," kata Tety lagi.
Salah kaprah
Pembelajaran daring masih dianggap hanya memberikan tugas melalui internet. Bukan diartikan pembelajaran daring sesungguhnya, yang mana guru dan murid sama hadir dan bertemu di ruang maya.
"Sangat keliru, jika pembelajaran daring sama halnya dengan memberi tugas pada murid," ujar Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia, Muhammad Ramli Rahim.
Jika hanya memberikan tugas atau pekerjaan rumah pada siswa, maka yang repot adalah orang tuanya. Apalagi, jika orang tuanya juga bekerja dari rumah.
Seharusnya, kata Ramli, pembelajaran daring sama halnya dengan pembelajaran di kelas. Murid dan guru bertemu di ruang maya. Terjadi interaksi guru dan murid.
"Adanya virus Covid-19 ini membuka mata kita, bagaimana sesungguhnya kualitas guru kita. Pendidikan kita masih gagap dalam menghadapi kondisi seperti ini," tukas Ramli.
Pemerhati pendidikan Indra Charismiadji mengatakan, banyak kejadian lucu ditemuinya dalam usaha sekolah membuat proses pembelajaran daring. Ada yang membuat konsep ceramah online, ada yang tetap mengajar di kelas seperti biasa tetapi divideokan yang menjadi lucu karena mengajar bangku-bangku kosong kemudian dikirim ke aplikasi Whatsapp siswa, ada yang memanfaatkan konten-konten gratis dari berbagai sumber.
"Suatu usaha awal yang baik tetapi pada dasarnya tidak sesuai dengan pedagogi digital, yang mana konten sudah tidak penting lagi karena dengan adanya internet betapa mudahnya mendapatkan konten dan sebagian besar gratis," terang Indra.
Fokus di pendidikan era 4.0 bukan lagi apa yang dipelajari melainkan bagaimana caranya belajar. Dalam hal itu, peran seorang pendidik sangat dibutuhkan, karena mereka harus membimbing peserta didik tentang caranya belajar dengan memanfaatkan internet.
"Intinya guru-guru Indonesia belum siap melakukan pembelajaran dalam konsep daring," cetus Indra.
Guru tidak perlu memberi banyak informasi, namun yang penting informasi yang membuat siswa produktif dan kreatif. Dalam pembelajaran daring, guru dan orang tua memiliki peran pendampingan. Tidak dengan menyuapi anak dengan pengetahuan, tapi membiarkan anak memilih pengetahuan itu sendiri.
Kondisi yang terjadi saat ini, lanjut Indra, menunjukkan belum efektifnya pelatihan guru yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Psikolog Universitas Indonesia Dr Rose Mini Agoes Salim mengatakan peserta didik harus membiasakan pembelajaran dalam jaringan (daring) selama berlangsungnya wabah virus COVID-19 di Tanah Air. Guru bisa menggunakan platform-platform pembelajaran daring tertentu dan bisa membantu anak sehingga anak tidak merasa tidak tatap muka dengan gurunya. Bisa dengan menggunakan video dan lainnya.
Begitu selesai melihat video, mendengarkan apa yang diterangkan oleh gurunya, kemudian ada bahan pertanyaan yang harus diisi oleh murid. Pertanyaan itu, kalau sudah diisi tidak bisa balik lagi.
Dengan pola seperti itu, anak akan mendengarkan dan fokus pada pembelajaran daring sehingga bisa menjawab pertanyaan. Untuk sisa waktu setelah belajar, Rose menyarankan keluarga melakukan proyek bersama yang dilakukan seluruh anggota keluarga.