Senin 16 Mar 2020 22:43 WIB

Pengamat Nilai Corona Mengancam Pelaksanaan Pilkada Serentak

Pelaksanaan Pilkada Serentak membutuhkan partisipasi publik di keramaian

Pilkada Serentak (Ilustrasi)(Republika/Yogi Ardhi )
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilkada Serentak (Ilustrasi)(Republika/Yogi Ardhi )

REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGPINANG -- Pengamat Politik asal Kepulauan Riau Endri Sanopaka yakin upaya pencegahan penularan COVID-19 akan mengancam pelaksanaan tahapan pilkada serentak. Hal ini seandainya antivirus belum ditemukan sebelum pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, kata pengamat politik.

"Pelaksanaan tahapan pilkada membutuhkan partisipasi publik seperti masyarakat, pengurus partai dan tim pemenangan. Sementara untuk mengantisipasi penularan COVID-19, masyarakat harus menghindari tempat keramaian. Ini jadi persoalan," ujarnya di Tanjungpinang, Senin (16/3).

Endri yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji Tanjungpinang mengatakan Indonesia belum siap menggunakan sistem daring dalam pelaksanaan tahapan pilkada. Regulasi untuk melaksanakan tahapan pilkada dengan sistem daring pun belum ada.

Karena itu, kata dia penyelenggara pilkada akan kewalahan melaksanakan pilkada, terutama dalam meningkatkan partisipasi pemilih pada hari pemungutan suara. Salah satu target penyelenggara pilkada yakni meningkatkan partisipasi pemilih melalui sosialisasi.

Sosialisasi melalui pertemuan langsung atau tatap muka dibutuhkan lantaran sebagian masyarakat tinggal di pulau-pulau. Pertemuan langsung tentunya sulit dilakukan seandainya bencana akibat COVID-19 ini belum teratasi hingga Juni 2020 atau pada saat partai pengusung mendaftarkan kandidat pilkada.

Keterbatasan penggunaan ponsel cerdas, dan kurangnya minat membaca berita di media daring, khususnya kalangan ibu-ibu yang tinggal di pulau-pulau menjadi persoalan jika penyelenggara pilkada berupaya menyosialisasikan pilkada melalui aplikasi tertentu maupun media sosial.

"Kondisi ini memang berat, karena permasalahan COVID-19 mendadak muncul," ujarnya.

Sosialisasi terhadap pasangan calon yang mencalonkan diri saat pilkada dibutuhkan. Model sosialisasi perlu dibahas secepatnya sehingga efektif dipahami masyarakat.

Masyarakat berhak mengetahui visi dan misi masing-masing kandidat pilkada sebelum menggunakan hak pilihnya di bilik suara tempat pemungutan suara. Sosialisasi bukan hanya dilakukan oleh penyelenggara pilkada, melainkan juga mesin politik masing-masing peserta pilkada.

"Ada pertemuan terbatas dan pertemuan akbar, apakah ini ditiadakan? Kalau ditiadakan, bagaimana caranya supaya visi dan misi masing-masing kandidat diketahui masyarakat? Model sosialisasi yang efektif dan efisien pengganti pertemuan langsung perlu disiapkan," tuturnya.

Endri juga menyinggung persoalan pendataan pemilih, termasuk proses perekaman KTP elektronik yang membutuhkan pemohon berada di Kantor Disduk. Pemutakhiran data pemilih juga dilakukan secara faktual sehingga petugas harus datang ke rumah warga.

"Ini juga persoalan. Kita tidak siap dengan menggunakan cara yang lebih canggih tanpa membutuhkan pertemuan pemohon dengan petugas," katanya.

Sementara terkait sistem pemungutan suara secara elektronik (e-voting), menurut dia bukan baru sekarang dibahas. Seharusnya, rencana itu dilaksanakan secara merata di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.

Sistem itu lebih efektif dan efisien untuk pilkada. Biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan sistem itu juga relatif lebih murah, dan lebih mudah dikontrol.

"Sekarang tergantung negara, apakah ingin menggunakan sistem pemungutan dan penghitungan suara yang kuat, yang dapat meyakinkan masyarakat atau tidak," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement