REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Selama ini, Muhammadiyah dan 'Aisyiyah senantiasa menekankan pada dakwah inklusif di tengah umat. Untuk lebih mengoptimalkan dakwah inklusif ini, menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini, diperlukan adanya peta dakwah.
Noordjannah menilai, dakwah inklusif yang telah dijalankan belum optimal.Maka itu, peta dakwah diperlukan agar dakwah inklusif dapat terus berjalan sesuai perkembangan zaman dalam rangka memajukan dan mencerahkan masyarakat. "Muhammadiyah dan 'Aisyiyah selama ini memegang prinsip dalam dakwahnya yakni dakwah yang berkemajuan," katanya.
Hal itu dia sampaikan kepada Republika.co.id usai Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Dakwah Inklusif di Komunitas, yang berlangsung di Kantor PP 'Aisyiyah, Yogyakarta, belum lama ini. Dengan adanya Peta Dakwah pula, lanjut dia, diharapkan dapat meningkatkan derajat dan kesejahteraan masyarakat.
Yang tentunya merambah di segala bidang baik kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, kebencanaan, filantropi, dan lain-lain.Dia juga menggarisbawahi pentingnya membuat peta dakwah. Dan hal ini nanti akan masuk dalam pembahasan di Muktamar Muhammadiyah-'Aisyiyah ke-48.
"Ke depan harus dipetakan jelas wilayah (dakwahnya). Prioritas peta dakwah ini yang akan menentukan strategi dakwah kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhannya, apakah dakwah substantif, spiritual, dan sebagainya," jelas Noordjannah.
Begitu pula melalui peta dakwah tersebut, akan dimunculkan strategi-strategi ke depan dalam menjalankan dakwah Muhammadiyah dan 'Aisyiyah. Strategi tersebut harus dipersiapkan guna menangkap tantangan dan peluang perkembangan zaman yang terus terjadi.
"Dengan perkembangan sosial masyarakat begitu cepat dan faktor teknologi informasi, mau tidak mau kita harus juga berkompetisi, berfastabiqul khairat dalam berdakwah secara inklusif," jelasnya.
Terkait prioritas wilayah yang akan dijalankan dakwah secara inklusif, menurutnya, seluruh wilayah di Indonesia memiliki karakteristik masing-masing. Sehingga, tiap wilayah juga memiliki prioritas.
"Poin dakwah inklusif ini bagaimana mengembangkan nilai-nilai keagamaan, toleransi di komunitas, memasifkan dakwah untuk kelompok marjinal seperti petani, nelayan, dan sebagainya. Termasuk dakwah untuk kelompok difabel, memikirkan dan menyiapkan strategi dakwah di daerah 3T (terdalam, terluar, dan tertinggal)," ujarnya.
Dengan begitu, strategi yang di tiap wilayah pun menjadi berbeda. Untuk itu, Pimpinan Muhammadiyah dan 'Aisyiyah yang ada di tiap wilayah akan ditantang untuk lebih mengenali daerahnya masing-masing dan menetapkan strategi yang tepat dalam menjalankan dakwah inklusif ini.
"Kadang-kadang tiap daerah itu tidak bisa digeneralisasi. Itu yang kita agendanya adalah mendorong para pimpinan di tingkat bawah untuk semakin bisa melihat kondisi wilayahnya dengan kultur dan bahkan sub kulturnya seperti apa. Supaya kehadirannya itu dipandang nyaman masyarakat," kata Noordjannah.
Bermuara pada kebaikan
Dia mengakui, selama menjalankan dakwah, memang tidak sedikit terjadi penolakan dari masyarakat. Hal tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan oleh Muhammadiyah dan 'Aisyiyah untuk terus menjalankan dakwahnya.
"Asal kita niatnya bermanfaat untuk banyak pihak, saya pikir Allah SWT saja menjanjikan kalau kita bersungguh-sungguh berbuat sesuatu di jalan Allah, maka Allah akan membuka jalan kemudahan bagi kita," ujarnya.
Menurut Noordjannah, dakwah Muhammadiyah dan 'Aisyiyah yang selama ini bermuara pada kebaikan tidak dapat dilakukan tanpa adanya kolaborasi dengan pihak lain. Untuk itu, kolaborasi dengan pihak lain baik itu pemerintah, korporasi, dan kelompok masyarakat menjadi hal yang penting.
"Bersinergi dan berkolaborasi dengan siapa saja kalau itu untuk kepentingan mengajak kepada kebaikan, membuat orang hidup lebih baik serta sejahtera, kemudian membuat keluarga-keluarga itu punya ketahanan keluarga yang semakin baik, kenapa tidak? Jadi inklusifnya di situ," jelasnya.
Pada kesempatan sama, salah satu pembicara yang juga anggota Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP 'Aisyiyah (LPPA), Siti Syamsiyatun, menekankan konsep Islam berkemajuan masih relevan dipakai dalam dakwah Muhammadiyah dan 'Aisyiyah hingga saat ini. Sebab, konsep tersebut mampu mewujudkan makruf dalam berdakwah guna memberdayakan dan mencerahkan umat.
"Dengan konsep dakwah yang berkemajuan, membantu Ahmad Dahlan menghasilkan produk pemikiran berupa amal usaha yang semakin menguatkan keagamaan di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, maupun pelayanan sosial," ujarnya.
Hal tersebut, kata dia, membuktikan dakwah Muhammadiyah dan 'Aisyiyah bersifat adaptif terhadap persoalan keagamaan masyarakat. Dan saat ini hal tersebut masih dipegang karena dalam berdakwah harus adaptif terhadap kultur lokal untuk mencapai inklusifitas dalam berdakwah.
Semua materi yang dibahas dalam FGD kali ini, nantinya akan dibawa dalam pembahasan program di Muktamar Muhammadiyah-'Aisyiyah ke-48 pada 1-5 Juli 2020 di Solo, Jawa Tengah.